Sisi Gelap Keuangan Parpol dan Aliran Dana Ilegal Pilpres 2024

oleh -36 views

Oleh: Hamdani, Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas/Pakar Keuangan Negara dan Daerah/Staf Ahli Mendagri Tahun 2014-2022

Pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto adanya kejahatan lingkungan pada program food estate dan penyalahgunaan dana APBN menuai kontroversi. Untuk itu Hasto meminta dugaan  aliran dana APBN kepada partai politik (Parpol) hasil kejahatan lingkungan sesuai temuan PPATK perlu diusut.

Walaupun tidak menyebut Partai Gerindra, namun deklarasi dukungan Partai Golkar dan PAN kepada Prabowo Subianto dua hari sebelumnya dinilai sebagai pemicu. Peristiwa tersebut memantik panasnya hubungan pasangan koalisi pada pemilihan presiden (Pilpres) 2009.

Kelemahan transparansi dan akuntabilitas keuangan Parpol sebagai lembaga publik menimbulkan rentannya tudingan masuknya aliran dana ilegal tersebut.

Sebagai partai pendukung pemerintah, keduanya memiliki akses yang sama terhadap APBN, APBD, dan BUMN yang dikelola para kader dan simpatisan partai tersebut baik yang berkiprah sebagai eksekutif maupun legislatif.

Tudingan yang sama dapat dilakukan oleh Gerindra kepada PDIP sepanjang memiliki bukti yang cukup. Saling tuding seperti ini ketika masa kampanye melanggar pasal 280 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tudingan korupsi atau penerimaan dana ilegal tanpa bukti termasuk kategori sebagai kampanye hitam karena Parpol yang dituduh korupsi dirugikan secara elektoral.

Sanksi Menerima Aliran Dana Korupsi

Setiap kader Parpol terjerat pidana korupsi, maka terbangun persepsi publik adanya aliran dana kepada Parpol yang bersangkutan. UU 20 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur orang atau kelompok orang baik sebagai pelaku atau subjek perbuatan korupsi maupun sebagai penerima. Kedua peran dimaksud dinyatakan sama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan korporasi atau badan tidak dinyatakan sebagai pelaku tetapi hanya sebagai penerima.

Baca Juga  Kapolres Kepulauan Tanimbar Jadi Orang Tua Asuh 4 Anak Penderita Stunting

Namun sampai saat ini belum ada yurisprudensi sebagai instrumen hukum untuk menjerat korporasi termasuk Parpol sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Ketika kader Parpol yang mengalirkan dana korupsi atau menerima dana ilegal dinyatakan sebagai peristiwa pidana, maka Parpol yang menerima aliran dana korupsi dan ilegal tersebut tidak ditetapkan sebagai pelaku pidana.

Dalam persidangan kasus korupsi e-KTP tahun 2018 yang melibatkan mantan Ketua Umum Partai Golkar, sanksi pidana hanya dikenakan kepada Setya Novanto. Sedangkan aliran dana korupsi yang diterima Partai Golkar untuk Rapimnas sebesar Rp5 milyar diselesaikan secara perdata dengan mengembalikan uang haram dimaksud kepada KPK. Menurut Pasal 59 KUHP yang melakukan tindak pidana dan yang mempertanggungjawabkan adalah orang karena tugas mengurus suatu “kesatuan orang” atau korporasi termasuk Parpol menjadi tanggungjawab personal pengurusnya. Oleh karena Parpol bukan subjek dan objek hukum pidana korupsi, maka peristiwa pidana yang menimpanya menjadi tanggungjawab individu pengurusnya.

Oleh karena UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bersifat lex specialis, seharusnya mengatur sanksi kepada Parpol yang menerima aliran dana korupsi atau ilegal dimaksud. Faktanya UU tersebut hanya mengatur sanksi kepada Parpol atas pelanggaran menerima sumbangan tanpa mencantumkan identitas yang jelas dan/atau jumlahnya melebihi batas yang ditentukan UU.

Baca Juga  AC Milan Vs Newcastle United Tuntas Tanpa Gol

Sanksi tersebut tidak dikenakan kepada Parpol tetapi dijatuhkan kepada pengurusnya dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Audit dana Parpol juga tidak menemukan pelanggaran ketentuan keuangan Parpol apabila dana ilegal atau hasil korupsi tersebut tidak dicatat dalam pembukuan parpol baik penerimaan maupun pengeluarannya.

Penerimaan dana bagian dari pengelolaan keuangan Parpol merupakan ranah pengaturan UU Nomor 2 Tahun 2011, namun sanksi menerima aliran dana korupsi dan ilegal luput dari pengaturan UU dimaksud. Hal ini diduga keengganan fraksi di DPR untuk menyetujui sanksi karena berkaitan dengan eksistensi organisasi yang mewadahi politisi Senayan tersebut. Dengan demikian UU Nomor 2 Tahun 2011 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 sama sekali tidak mengatur sanksi kepada Parpol yang menerima aliran dana korupsi dan ilegal.

Akuntabilitas Pendanaan Pilpres 2024

Kebutuhan biaya kampanye Pilpres diperoleh dari pasangan calon presiden (Capres)/calon wakil presiden (Cawapres), Parpol/koalisi Parpol, dan sumbangan. Dari ketiga sumber pendanaan Pilpres dimaksud, UU Nomor 7 Tahun 2017 hanya menentukan kriteria, syarat, dan jumlah untuk sumber penerimaan yang berasal dari sumbangan. Sedangkan dana yang berasal dari pasangan Capres/Cawapres dan Parpol pengusung tidak diatur kriteria dan batasan jumlahnya. Pada saat penetapan Capres/Cawapres tidak ada keharusan mengklarifkasi asal usul dari dana kampanye Pilpres yang barasal dari pasangan calon dan Parpol pengusung.

Parpol memiliki peluang memperbesar pundi-pundi pendanaan Pilpres yang berasal dari pasangan Capres/Cawapres dan partai pengusung. Pasal 328 UU Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan kewajiban pembukuan dana kampanye Pilpres tiga hari sejak ditetapkan sebagai pasangan Capres/Cawapres. Kemungkinan dana korupsi dan uang ilegal lainnya dapat saja mengalir kepada pasangan Capres/Cawapres dan Parpol pengusung sebelum penetapan pasangan Capres/Cawapres. Penerimaan aliran dana korupsi ataupun gratifikasi termasuk sumbangan ilegal dari oligarki yang sulit terdeteksi, berpotensi digunakan untuk praktik politik uang. Hal ini disebabkan penerimaan dan pencairan dana tersebut untuk perolehan elektabilitas dan insentif elektoral telah dilakukan sebelum kewajiban pembukuan dana kampanye dimulai.

Baca Juga  Dewan Pers Gelar Workshop Peliputan Pemilu di Ambon

UU Nomor 2 Tahun 2011 belum memuat sanksi apabila Parpol sebelum kewajiban pembukuan dana kampanye Pilpres menerima aliran dana korupsi atau dana ilegal dari oligarki. Politik uang sulit dicegah apabila aliran uang haram untuk kepentingan Pilpres terjadi sebelum penetapan pasangan Capres/Cawapres karena tidak tersentuh audit dana kampanye. Untuk menghindari kekosongan aturan tersebut perlu dilakukan yudisial reviu UU Nomor 2 Tahun 2011 oleh kelompok penggiat anti korupsi ke Mahkamah Konstitusi.

Keuangan partai politik tidak boleh terkontaminasi dengan aliran dana korupsi dan sumbangan ilegal karena memicu praktek politik uang pada Pemilu 2024. Daya rusaknya terhadap elektabilitas partai sangat signifikan karena publik mempunyai persepsi negatif terhadap parpol yang koruptif. Kualitas demokrasi tercermin pada kualitas akuntabilitas keuangan Parpol. Untuk itu regulasi keuangan Parpol harus mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Parpol. Revisi UU Nomor 2 Tahun 2011 mengatur sanksi administrasi pembekuan dan pembubaran parpol merupakan keniscayaan untuk menegasi sisi gelap pendanaan Parpol. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.