Lelaki Tua dan Masa Lalu
senja kemarin, seorang lelaki menghitung uban
yang tumbuh memenuhi kepalanya
seolah menghitung jarak kepulangan
ditatapnya daun-daun yang gugur
seumpama menatap masa lalu yang enggan terkubur
kenangan demi kenangan berganti-ganti bagai musim
di kedua bola matanya yang kini mulai merabun
sungguh lelaki yang kenyang asam garam itu terlampau mengerti
bahwa selepas ombak menenggelamkan kapal terakhir
laut tak lagi kampung halaman. pun semesta yang ada di belakang
Ambon, 4 Februari 2024
==============
Tak Perlu Menyimpan Laut di Detak Jantungmu
maafkan bila aku tak pernah mengabarimu
tentang bagaimana hujan menjatuhkan gerimis
di atas geladak kapal yang membuat bayangmu
kian samar menjadi bayang-bayang
tak perlu lagi menyimpan laut di detak jantungmu
sebab di geladak kapal ini sudah tak ada lagi ruang tersisa
untuk menyusun namamu yang terlanjur menjadi buih
pun sisa kenangan yang telah aku hanyutkan di ujung selat
ketika terakhir berlayar usai pamit darimu, senja itu
mungkin tak perlu engkau bertanya ke arah mana kapal menuju
sebab musim melapangkan arah untuk ditandai
pada sesuatu yang kusebut sebagai yang bernama
kala laut mulai berkidung tentang pasang
tentang angin buritan dan sebotol wine di atas geladak
maafkan bila aku tak lagi membangun rumah di atas laut
sejak anak-anak ikan di laut dadamu terlahir sungsang
demikianlah hujan menjatuhkan gerimis senja itu
membuat bayangmu kian samar di batas pemandangan
mengekalkannya sebagai bayang-bayang