Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
Kita tahu bahwa hidup makin sulit. Di mana-mana orang mengeluh karena penghematan. Di media sosial saya melihat pegawai-pegawai yang baru diberhentikan. ASN tidak bisa kerja karena kantornya tidak lagi ber-AC.
Dosen-dosen marah karena Tukin tidak dibayar. Gaji ke-13 dihapus. THR jumlahnya disunat.
Di tingkat bawah, ikat pinggang juga diketatkan, dipinggul yang sebenarnya sudah ceking. Beras Bansos kabarnya tidak lagi 10kg per jiwa per bulan, tapi hanya 5 kg. Itupun kabarnya tidak akan diberikan lagi setelah Lebaran.
Belum lagi soal gas elpiji 3 kg. Kita tahu, krisis dialami oleh rakyat bawah. Banyak warung tidak bisa jualan karena tidak ada gas. Ibu-ibu rumah tangga kesal dan marah karena gas tidak ada.
Namun ada hiburan. Anak-anak diberi makan siang bergizi gratis. Namun ini pun berjalan tersendat-sendat. Makannya memang gratis, gizinya belum tentu.
Hal itu toh tidak menghalangi seorang Dandim di Papua, yang menyediakan makan siang itu, menangis sesenggukan karena bisa kasih makan anak-anak Papua yang miskin itu. “Anak-anak itu makan bonggol pisang,” isaknya. “Sementara saudara-saudaranya di kota makan pizza”. Yeah, pizza!