Yang Dihadapi Pandemi, Yang Diperdebatkan Ucapan Selamat

oleh -4 views

Oleh M. Ghufran H. Kordi K, Aktivis LSM, Peneliti, Penulis, Fasilitator Pelatihan, dan Konsultan Budi Daya Perairan/Perikanan

Pandemi Covid (Coronavirus disease)-19, penyakit yang disebabkan oleh virus SARS CoV-2, menyeret ekonomi dunia ke dalam resesi. Berbagai negara dan bangsa berusaha untuk bangkit dengan menempuh berbagai cara. Negara-negara maju terlihat mulai pulih karena mereka telah menghasilkan vaksin dan memulai vaksinasi terhadap warganya. Di samping sejak awal menyebarnya virus, mereka dengan sigap menempuh kebijakan-kebijakan tepat. Di negara kita, para pejabat menghadapi Covid-19 dengan lelucon, kebijakan yang tumpang tindih, dan bertentangan.

Menghadapi meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19, berbagai negara berlomba menghasilkan vaksin, peralatan medis, dan menemukan berbagai teknik untuk mecegah kematian, membatasi penularan, dan sebagainya. Ini bukan pekerjaan mudah di tengah suasana mencekam dan kematian yang membayangi.

Perdebatan, diskusi, pertukaran pengalaman dan informasi dilakukan di berbagai media, bukan untuk mencari siapa yang hebat, tetapi untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi umat manusia. Ketika muncul pro kontra mengenai vaksin, terutama keefektifan, keamanan, hingga kehalalan, itu adalah sesuatu yang produktif. Bagaimana pun seseorang harus tahu sehingga perlu mempertanyakan suatu bahan yang akan disuntikkan ke dalam tubuhnya.

Namun, orang harus mencari sumber informasi dan narasumber yang tepat untuk itu. Tidak sekadar melihat dan membaca berita bohong atau hoaks (hoax), kemudian ikut menyebarkan di berbagai platform media sosial. Manusia pembelajar dan beragama tidak akan menyebarkan hoaks dengan cara apapun.

Umat Islam sebagai Pasar

Di samping perdebatan mengenai vaksin, dalam bulan Desember tahun ini, dan Desember tahun-tahun sebelumnya, umat Islam di Indonesia selalu memperdebatkan ucapan selamat, ada selamat hari ibu, apalagi selamat Hari Natal. Energi umat Islam di negeri ini tidak ada habis-habisnya jika berdebat mengenai hal-hal yang tidak membawa kemaslahatan dan kemajuan umat Islam. Atau memang kemampuan belajar umat Islam hanya sampai di situ, sehingga tidak ada bahan yang dapat diperdebatkan.

Padahal yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini di tengah pandemi Covid-19 adalah meningkatnya kemiskinan (ancaman kelaparan), kehilangan pekerjaan, kematian yang tinggi akibat Covid-19, penuhnya rumah sakit, minimnya tenaga medis tertentu, perampokan/korupsi dana Covid-19, lambatnya produksi vaksin, ketiadaan peralatan rumah sakit, dan seterusnya.

Umat Islam menjadi lupa bahwa, dengan hanya berdebat hal-hal yang tidak produktif, akan menjadikan umat Islam semakin lemah, tidak produktif, dan menjadi sasaran empuk dan pasar bagi pihak lain. Saat ini terdapat 1,17 miliar umat Islam (data dari Esposito et al, 2017) adalah pasar besar bagi pebisnis raksasa dunia yang dikuasai oleh bagian utara, negara maju, dan mereka berdarah Yahudi, Kristen, ditambah Shinto (Jepang), Konghucu (RRC), dan Hindu (India). Sementara jumlah orang Yahudi di dunia hanya sekitar 15 juta jiwa, sekitar 7 juta jiwa berada di Israel.

Baca Juga  Menang 3-0 atas Girona, Los Blancos Balik ke Puncak Klasemen

Berbagai platform media sosial (facebook, twitter, youtube, instagram, telegram, dan sebagainya) adalah bisnis raksasa yang semakin kaya karena digunakan oleh umat Islam. Semakin umat Islam berdebat mengenai hal-hal yang tidak produktif, di samping saling mencela dan melemahkan sesama umat Islam, semakin populer di media sosial, berarti semakin meningkat pundi-pundi uang yang dikumpulkan oleh pemilik media sosial. Sementara umat Islam semakin tidak produktif karena waktunya habis hanya untuk berdebat mengenai hal-hal yang tidak produktif, saling mencela, dan menyalahkan.

Umat Pengimpor

Umat Islam dan negara-negara mayoritas muslim di dunia sudah menjadi pengimpor apa saja yang canggih yang berbasis sains dan teknologi sejak dulu. Sekarang ruang maya yang tidak terlihat dijejali oleh jaringan internet sehingga manusia bisa terhubung secara virtual di seluruh dunia. Ini adalah bisnis raksasa yang menghasilkan uang tanpa batas dalam waktu singkat. Sayangnya semua perangkatnya merupakan barang impor yang menyerbu negara-negara berkembang, termasuk negara muslim seperti Indonesia. Dan negara seperti Indonesia hanya bisa mengambil keuntungan dari pajak, itu pun ributnya luar biasa, karena menghadapi perusahaan raksasa yang mampu mengendalikan pemerintah/negara.

Akhir tahun ini (2020) berita di seluruh dunia berfokus pada dimulainya vaksinasi di beberapa negara setelah raksasa farmasi Pfizer, Moderna (AS), BioNtech (Jerman), dan Sinovac (China) berhasil menguji vaksinnya. Vaksin adalah produk sains dan teknologi maju yang membutuhkan riset serius dengan dana besar dan sumber daya manusia mumpuni.

Baca Juga  Gol Bunuh Diri Sergio Ramos Menangkan Blaugrana atas Sevilla

Negara-negara mayoritas muslim di dunia mau tidak mau harus mengimpor vaksin, karena sains dan teknologi di negara-negara ini jauh tertinggal.

Kalah, Jadi Pemarah

Umat Islam kalah dalam segala urusan di bumi ini. Umat Islam berada di negara-negara Asia dan Afrika yang bukan negara maju, sebagian adalah negara miskin. Negara-negara Arab teluk yang merupakan negara kaya minyak juga hanya punya uang karena minyak, tidak mempunyai kemampuan dalam penguasaan sains dan teknologi.

Ketidakmampuan dalam penguasaan sains dan teknologi inilah yang membuat umat Islam dan negara-negara berpenduduk muslim menjadi pasar bagi negara-negara maju. Sebagai ilustrasi, dua puluh tahun lalu, Islamic Educational, Scientific, and Cultural Organization (ISESCO) melaporkan bahwa sebanyak 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk dunia, mendiami wilayah seluas 26,6 juta km2, dan menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia, memiliki GNP hanya sebesar 1,016 miliar dollar AS. Suatu angka yang sangat kecil dibandingkan dengan GNP negara maju seperti Perancis yang berpenduduk sekitar 60 juta jiwa dan mendiami wilayah sekitar setengah juta kilometer persegi dan mempunyai GNP sebesar 1,293 miliar dollar AS (Purwanto, 2015).

Kenyataan tersebut terjadi karena negara-negara maju, seperti Perancis, mendasarkan pertumbuhan ekonominya pada sains dan teknologi sementara negara-negara Islam hanya bergantung pada input yang bersifat kualitatif. Kekayaan sumber daya alam di negara-negara Islam sebagian besar dijual dalam bentuk bahan mentah, itu pun telah meminta bantuan asing.

Merujuk data Science Citation Index, 46 negara Islam memberi kontribusi 1,17 persen pada penerbitan karya ilmiah dunia. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan satu negara, seperti India dan Spanyol, yang masing-masing 1,66 persen dan 1,48 persen. Dua puluh negara Arab menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sedangkan Israel menyumbang 0,89 persen. Sementara negara-negara maju, seperti Jerman, Inggris, atau Jepang berturut-turut menyumbang 7,1 persen, 7,9 persen, dan 8,2 persen, apalagi Amerika Serikat 30,8 persen.

Baca Juga  Jalin Kerjasama Penguatan Ekonomi Syariah, JMSI Teken MoU dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)

Padahal umat Islam punya kitab suci canggih, Al-Quran. Al-Quran bicara tentang ilmu, membaca, menulis, laut, matahari, bulan, bintang, bumi, hujan, angin, tumbuhan, hewan, penyakit, obat, makana, dan sebagainya. Al-Quran sampai berbicara tentang biji-bijian, buah, ikan, burung, lebah, semut, dan daun yang jatuh. Tapi umat Islam tahunya di dalam Al-Quran hanya surga, neraka, dan kafir.

Maka yang dipikirkan dan didiskusikan hanyalah surga, neraka, kafir. Berbagai kelompok dalam Islam membuat garis demarkasi, ikut kami masuk surga, tidak ikut kami masuk neraka. Beragama sebatas membuat garis pemisah, mirip pebisnis tanah kavling atau pengusaha rumah kost, tidak berbeda dengan anak kecil main dende (bermain di dalam kotak-kotak dengan meloncat menggunakan satu kaki).

Umat Islam menghabiskan waktu, tenaga, dan dana hanya untuk perkara fiqih. Padahal ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran hanya seperlima dari ayat-ayat kauniyah, ayat tentang alam semesta. Sebaliknya ayat-ayat kauniyah yang berjumlah sangat banyak terabaikan. Syaikh Jauhari Thanthawi, guru besar Cairo University, Mesir, menyatakan bahwa Al-Quran memuat 750 ayat kauniyah, dan hanya sekitar 150 ayat fiqih. Bahkan Agus Purwanto, ahli fisika teoritis dari ITS Surabaya menemukan 1.108 ayat kauniyah (Purwanto, 2012; Purwanto, 2015). Ini berarti sebanyak 17,7 persen ayat-ayat di dalam Al-Quran membahas alam semesta. Sedangkan ayat-ayat fiqih atau ayat-ayat hukum hanya 2,4 persen.

Karena umat Islam menghabiskan waktu untuk berdebat surga, neraka, dan kafir, dan hal-hal yang tidak produktif sepanjang kehidupan, maka umat ini terus-menerus menjadi umat lemah dan terbelakang, dan kemudian sebagian umat Islam menjadi pemarah, memarahi dan menyalahkan siapa saja, termasuk memarahi kelompok-kelompok dalam Islam yang berbeda pendapat.

Waktunya menjadi umat pembelajar yang berkontribusi sebagimana seruan Iqra’. Karena kemajuan dan keunggulan dicapai dengan belajar dan bekerja keras, bukan marah dan menyalahkan. (*)