Cerpen Karya: Seli Oktavia
Aku menatap selembar kertas bertuliskan ‘undangan pernikahan’ yang terletak di meja kamarku. Kertas itu disodorkan ibu pemilik kostan selepas ku pulang kuliah. Dia bilang bahwa tadi siang ada wanita muda datang dan menitipkan undangan ini untukku.
Jujur saja, aku malas membacanya. Lebih tepatnya, tidak mau membacanya. Aku sudah tahu isi dari undangan itu akan menyakiti hatiku. Dan yang terburuk, akan mengembalikan seluruh kenangan bersamanya.
Aku jadi ingat, saat aku dan dia terjebak hujan selepas kita pulang sekolah. Kami saling berdiam diri di depan toko yang telah tutup. Membisu seakan tidak pernah saling mengenal padahal kita satu kelas, dan bangku kami hanya terpisah oleh bangku Rama dan Toni.
Saat aku menyadari bahwa dia telah mengambil seluruh hatiku, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku. Dan saat itu dia mau menjadi kekasih hatiku. Betapa bahagianya aku. Aku dan dia bagaikan dua insan paling bahagia di dunia ini. Masa masa sekolahku terasa sangat menyenangkan.
Kami saling berbalas pesan, saling menelepon sampai larut malam. Sampai sampai dia dimarahi ibunya agar segera tidur, kalau tidak mau terlambat berangkat sekolah.
Sungguh, itu adalah masa masa paling membahagiakan dalam hidupku. Cinta pertamaku terwujud. Aku berharap kami takkan terpisahkan sampai kapanpun.
Hingga saat itu datang. Waktu itu, selepas lulus SMA. Saat aku memberanikan datang ke rumahnya dengan motor bututku, bertemu bapak ibunya untuk sekedar meminta izin menghabiskan waktu di pasar malam yang ada di kota kami.
Aku begitu keliru, kenapa aku tidak menyadarinya semenjak awal?. Aku dan dia ternyata sangat berbeda. Seharusnya aku menyadarinya dari awal. Bahwa dia datang dari keluarga berpunya, sedangkan aku? sudah melanjutkan SMA saja sangat bersyukur.
Aku jadi ingat ucapan ayahnya saat itu. Ucapan yang sampai saat ini masih terngiang ngiang dalam pikiranku.
“Seharusnya kamu sadar diri anak muda, kalian sangat berbeda. Aku tahu dari keluarga mana kamu berasal. Tidak seharusnya kalian bersama. Dan Ratna akan segera kujodohkan dengan anak dari rekan kerjaku. Dan jelas anak tersebut lebih punya masa depan yang cerah.” Ucap ayahnya pada saat itu. Membuatku seketika menyadari. Cintaku tidak akan berakhir dengan indah seperti yang selalu aku bayangkan.
Hari itu juga aku memutuskan hubungan kami. Dia tidak mau, dan aku juga sebenarnya tidak mau. Tapi aku menjelaskan sejelas mungkin agar dia tidak tersakiti. Tapi nyatanya dia tidak mau, dan dia bertanya apakah aku mendapat perkataan yang tidak enak dari ayahnya. Aku berusaha menyembunyikannya, namun dia akhirnya tau. Dia menjadi marah pada ayahnya, aku berusaha meyakinkannya bahwa ucapan ayahnya adalah sebuah kebenaran. Tapi dia tetap tidak terima dan masih mencintaiku.
Hingga beberapa saat, aku diterima di kampus di kota lain dengan jalur beasiswa. Aku memilih merantau, meninggalkannya. Meski dengan berat hati, aku memilih untuk melupakannya. Dan harapanku agar dia cepat melupakanku dan menerima bahwa dia akan dijodohkan.
Aku menatap kertas undangan itu. Memilih membukanya dan membacanya singkat tanggal dan tempat acara.
Aku bercermin, memastikan rambutku sudah di sisir rapi. Ibu memanggilku agar aku segera sarapan. Tapi aku berdalih aku sudah terlambat. Aku pun segera memacu motorku menuju tempat acara, yakni di rumahnya.
Aku memantapkan hati dan langkahku untuk memasuki tenda pernikahan yang didekorasi dengan sangat indah dan terlihat mewah. Aku mengedarkan pandanganku, melihat ada beberapa teman kelasku sewaktu sekolah. Aku bergabung bersama mereka. Kami saling bertanya kabar, melepas kerinduan. Mereka terlihat sangat berbeda, menjadi lebih dewasa dengan jalan hidup masing masing yang dilewati.
Hingga tiba tiba ada yang menyeletuk,
“Gue kira Ratna bakalan sama lo!. Padahal waktu sekolah kalian pasangan favorit di kelas tau!.” Ucap Rina. Aku hanya tersenyum mendengar celetukannya, meski didalam hatiku telah menganga sebuah luka yang sangat menyakitkan.
Beberapa teman menghentikan celetukan Rina dan berpindah topik membahas kesibukan kami saat ini.
Suasana mendadak menjadi meriah saat sepasang pengantin menaiki panggung. Aku terpaku, terdiam di tempat dudukku. Lihatlah, kekasihku bersanding dengan laki laki lain diatas sana. Wajah cantiknya berpadu dengan senyum yang ramah, menyapu pandangannya pada tamu yang hadir. Hingga pandangannya bertemu denganku, senyum ramahnya mendadak padam. Aku berusaha tersenyum padanya, senyum yang kupaksakan. Dia hanya diam.
Beberapa saat kemudian, para tamu undangan satu persatu menyalami sang pengantin. Mengucapkan selamat dan doa terbaik. Aku sebenarnya hendak pulang saat itu juga, aku takut aku tidak kuat menahan perasaanku saat berhadapan dengannya. Tapi teman temanku menarikku agar segera naik keatas panggung. Dengan berat hati, aku putuskan untuk mendatanginya. Berusaha memasang wajah baik baik saja.
Saat teman temanku sudah menyalami mereka, terakhir giliranku. Aku menyalami pengantin pria terlebih dulu, mengucapkan doa terbaik. Sesekali aku meliriknya. Dia terdiam menatapku, matanya tak beralih walau sedetik. Kini giliranku menyalaminya. Aku tahu ini berat, tapi aku akan berusaha terlihat baik baik saja di hadapannya. Aku mengucapkan selamat dan doa terbaik sebisa mungkin. Matanya berkaca kaca, tangan kami saling bertautan. Tiba tiba saja dia memelukku, aku terkejut. Dia menangis. Membuat perhatian semua orang beralih pada kami. Aku merasa serba salah. Tapi aku biarkan saja dia memelukku, aku berusaha menenangkan tangisannya. Ternyata dia sama denganku, tidak mampu melupakan semua kenangan diantara kami.
Cinta pertamaku yang berakhir menyedihkan. Cinta yang manis kini berubah menjadi getir. Aku berbisik kepadanya.
“Hidup bahagialah dengannya.”. Aku pun segera melepas pelukan kami. Meskipun, aku tak mau melepaskannya. Seluruh orang masih menatap kami dan semua orang kini tahu bahwa kami masih saling mencintai.
Kini aku akan berusaha mengikhlaskannya. Mencoba melupakannya. Meskipun itu terasa sangat mustahil. Karena seluruh hatiku telah dibawa olehnya.
Tamat