@Porostimur.com | Ambon : Bukan hanya sebagai tradisi semata, namun Pukul Sapu atau Baku Pukul Manyapu diharapkan bisa berkembang menjadi salah satu lokomotif penggerak sektor pariwisata di Maluku.
Pukul Sapu sendiri kerap digelar setiap tanggal 7 Syawal, di Desa Mamala dan Morella, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng).
Hal ini ditegaskan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua, saat pembukaan acara Pesta Budaya Atraksi Pukul Sapu Lidi di Negeri Mamala, Jumat (22/6).
”Melalui khasanah budaya tradisional ini, selain mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat, dampaknya juga dapat meningkatkan arus kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri,” ujarnya.
Masyarakat yang mampu menjaga dan melestarikan budaya yang sudah ada sejak abad XVII ini, akunya, harus diapresiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku.
Dimana, budaya pukul sapu lidi ini memiliki nilai historis, antara lain dalam rangka mengenang perjuangan Kapten Tulukabessy beserta pasukannya melawan penjajahan VOC Belanda dalam perang Kapahaha (1643-1646 M).
Tepatnya, perang ini untuk mempertahankan Benteng Kapahaha dari serbuan penjajah VOC yang ingin mendirikan markas VOC atau Kongsi Dagang Belanda di Teluk Sewatelu, Ambon.
”Pada konteks ini dapat dipahami, sesungguhnya budaya pukul sapu lidi memiliki nilai-nilai kejuangan, keberanian, kebersamaan dan persaudaraan yang sangat tinggi,” jelasnya.
Sebagai anak cucu yang mewarisi budaya ini khususnya masyarakat Mamala, tegasnya, sejatinya dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya momentum atraksi ritual adat ini sebagai modal sosial kultural dalam rangka membangkitkan kembali semangat heroisme dan cinta tanah air, keberanian memperjuangkan hak dan kebenaran, kerelaan berkorban untuk kepentingan banyak orang, serta kelapangan jiwa untuk hidup bersama dalam bingkai NKRI dan Kebhinekaan Tunggal Ika.
Dihimbaunya masyarakat untuk merevitalisasi dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini.
Pasalnya, jika nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya sapu lidi ini hilang, maka sangat mungkin akan terjebak pada ritual yang kering dan hampa nilai atau absurd.
Secara sosiologis, terangnya, biasanya menimbulkan benturan kepentingan serta tubrukan-tubrukan sosial yang berakhir dengan konflik dan kekerasan.
”Sebaliknya, jika kita mampu mengawal dan mentranformasikan nilai-nilai yang dikandungnya, saya yakin wisata budaya sapu lidi ini akan semakin diminati oleh banyak orang, khususnya wisatawan, baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Sehingga, secara ekonomi dapat meningkatkan income masayarakat untuk hidup sejahtera,” pungkasnya. (shinta)