@Porostimur.com | Ambon : Selain penggunaan sebutan atau istilah ”Masyarakat Adat” Mausu Ane, FGD yang digelar Forum Dosen Indonesia (FDI) Provinsi Maluku, Senin (6/8) lalu, juga menghasilkan beberapa catatan penting di antaranya hutan adat milik masyarakat Mausu Ane yang terbagi dalam 3 kelompok berikut wilayah territorialnya masing-masing yakni patut di Leihaa, Yamalise, dan Tiluba.
Hal ini dibenarkan Sekretaris FDI Maluku, Dr. Fransina Latumahina,S.Hut,MP, saat berhasil dikonfirmasi wartawan via sambungan telepon seluler, Kamis (9/8).
Mesti ada penjelasan yang komprehensif dari berbagai pihak tentang hal sebenarnya yang terjadi pada masyarakat adat Mausu Ane.
Menurutnya, hasil FGD merepresentasikan tentang bias informasi yang dimuat media massa dan media sosial, namun dibantah Dinas Sosial Maluku.
Dimana, media massa memuat informasi tentang bencana kelaparan, sementara Dinsos Maluku menekankan terjadi kekurangan pangan.
Penanganan masalah yang dialami masyarakat Mausu Ane, akunya, harus dimulai dari pendekatan etnografis.
Dimana, pendekatan dimaksud memapu menangani masalah hak ulayat masyarakat adat atas hutan adat karena sudah bersinggungan langsung dengan ijin pengelolaan hutan oleh PT Waroeng Batok Industry maupun, jenis bantuan pangan yang diberikan, bahkan rencana relokasi oleh pemerintah.
Menurutnya, pengelolaan hutan oleh perusahaan tadi, mengancam eksistensi masyarakat Mausu Ane.
Begitupun jenis bantuan pangan yang diberikan harus diperhatikan, mengingat pola konsumsi masyarakat Mausu Ane berupa sagu, pisang, jagung dan umbi-umbian.
Bahkan, pemetaan wilayah hutan adat masyarakat juga harus dilakukan Kementerian Kehutanan RI sehingga tidak mengancam eksistensi masyarakat Mausu Ane.
Perbedaan perspektif antara pengambil kebijakan dan akademisi dalam FGD, tegasnya, berkutat pada masalah pembuatan rumah singgah oleh Dinsos Maluku maupun kehidupan berkelompok dan terpencar menyulitkan pelayanan pemerintah setempat, serta belum adanya peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hukum kepada masyarakat adat.
Menurutnya, rumah singgah yang berfungsi sebagai balai sosial yang diusulkan Dinsos Maluku, harus mendapatkan perhatian serius dengan berbagai pertimbangan.
”Pembuatan rumah itu pun harus ada dalam kerangka pandangan dunia masyarakat adat Mausu Ane terkait posisi rumah, arah rumah, bahan-bahan membuat rumah, ritual membuat rumah dan sebagainya. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat merasa memiliki dan betah memanfaatkannya,” ujarnya.
Para pengambil kebijakan, akunya, memandang bahwa masyarakat Mausu Ane harus dikumpulkan di dalam satu pemukiman bersama.
Pasalnya, kehidupan masyarakat dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar menyulitkan mereka mendapatkan layanan publik pemerintah.
”Temuan para akademisi dalam studi-studi sebelumnya pada masyarakat adat yang lain di Maluku, menunjukkan bahwa hidup dalam kelompok-kelompok kecil secara terpencar-pencar itu, adalah strategi masyarakat adat tersebut untuk menjaga batas-batas teritorial adat mereka. Jika mereka harus dikumpulkan, maka strategi itu tidak bermanfaat lagi. Tentu saja strategi-strategi masyarakat adat itu terhubung satu sama lainnya, sehingga ketika satu strategi dilumpuhkan dapat berakibat pada lumpuhnya strategi-strategi hidup lainnya,” jelasnya.
Pendataan kependudukan oleh Pemkab Malteng, jelasnya, juga harus menghargai dan mengedepankan seluruh hal termasuk di dalamnya agama suku.
Begitupun data yang hendak dikeluarkan atau diterbitkan tentang penanganan masyarakat Mausu Ane, tambahnya, sebaiknya mendaptkan verifikasi dan validasi oleh semua pihak terkait, sehingga tidak menimbulkan bias informasi dalam masyarakat.
”Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kabupaten Malteng, TNI/Polri dan seluruh pihak yang terlibat dalam penanganan masalah masyarakat adat Mausu Ane, dihimbau menyediakan informasi yang telah divalidasi dan diverifikasi sebelumnya oleh semua pihak. Informasi-informasi tersebut agar dikeluarkan lewat satu pintu saja, sehingga tidak terjadi bias informasi dimana-mana,” pungkasnya. (keket)