Para pendukung Prabowo 2019 kemudian mulai jijik dengannya. Beberapa umpatan dikalangan itu terjadi, seperti “Dikira Maung, taunya Meong”, gelar si Timbul (meminjam istilah “timbul” tenggelam bersama rakyat dalam pidato Prabowo berapi-api di Hotel Sahid), dll.
Kedua, Prabowo dalam koalisinya dengan Jokowi tidak menunjukkan “leadership” yang tinggi serta tidak menunjukkan janji-janji kampanyenya pada tahun 2014 dan 2019. Diberbagai negara maju, pola hubungan kolaborasi dua kekuatan harusnya membagi “power”. Namun, Prabowo asyik sekali menjadi ” bawahan loyal” mantan rivalnya tersebut. Hal ini menjadikan eksistensi pendukungnya menjadi rendah dimata pendukung Jokowi.
Bagi saya dan Jumhur Hidayat yang membuat kami bersumpah untuk tidak pernah mendukung Prabowo adalah soal menjaga demokrasi. Pada saat saya dan Jumhur ditangkap dan dipenjara oleh rezim Jokowi dalam kasus mengkritik RUU Omnibus Law Ciptaker, 2020, seharusnya Prabowo mengingatkan Jokowi bahwa kritik itu dibolehkan. Namun, seperti tidak pernah saling terkait, baik Prabowo maupun partainya tidak sama sekali menyatakan kepedulian.
Bahkan, dalam kasus UU Omnibus Law Ciptaker, di mana kaum kapitalis akan seenaknya mendominasi pengeksploitasian sumberdaya nasional bertentangan dengan isi buku Prabowo, Pradoks Indonesia. Buku yang dipuja-puja Prabowo itu adalah buku yang mengkritik kapitalisme. Mengapa ketika saya dan Jumhur ditangkap karena anti kapitalisme Prabowo diam?