Di Antara Suara Anak Lisung yang Merdu
Aku ditumbuhkan oleh pisang kuli-kuli, pisang tumbu, pisang santang, komo-komo, dan kokodo.
Aku tumbuh di antara suara anak lisung yang merdu setiap pagi dan sore.
Penikam di tangan papa, tonga di tangan mama, dan sosiru yang menerbangkan ampas padi, aku mengenal apa arti nasi pulo, jaha, waji, birinji, poroco sigi, dan tampa nasi.
Ketika padi sedang menguning, di atas bukit, di rumah kebun ibu yang atapnya dari katu dan daun woka, aku duduk memandang laut sambil berpantun, gohoru imastepa-tepa, yang bahoru juga adalah beta.
Angin dari laut yang bertiup sambil membasuh keringatku, melemparkan nyanyianku sebagai tigalu kemudian menghempaskannya ke mana-mana: ke Tala, ke Soro, ke Godhoa, ke Ponga, ke Bobanou.
Dari lereng dan bukit-bukit, balu demi balu berdatangan, bersamaan dengan suara kakatua dan perkici yang berteriak dari pohon-pohon yang hanya bisa kusentuh dengan mata. Aku mendengarnya seperti mendengar suaraku sendiri. Suara yang murni. Suara yang asin dan basah. Suara yang ketika aku jauh dan lupa, ia menjadi pengingat.
2023
———–
tigalu: panggilan/seruan di hutan
tala, soro, godhoa, ponga, bobanou: nama-nama kebun di Supu, Loloda.
balu: balasan panggilan/seruan
======
Lautan Tak Pernah Bisa Kau Benci
Seperti dulu
lautan tak pernah bisa kau benci
meski ia berkali-kali
memberimu basah dan cemas