“Misalnya akumulasi yang terdapat pada etnis Galela, untuk Husain-Asrul 14,2% lalu Aliong-Syahril 10,1%, Kemudian MK-BISA 28,0% dan Sherly-Sarbin 37,9% sedangkan responden yang tidak tahu atau yang belum menentukan pilihan sebanyak 9,7%. Jumlah ini jika diakumulasikan maka total responden kurang dari 100% yakni hanya 99,9%,” papar Igriza.
“Persentase yang sama juga terjadi pada etnis Sula, Ternate dan etnis lainnya yaitu hanya 99,9% akumulasi respondennya. Sementara pada etnis Buton, Butung dan Butong akumulasinya melebihi yakni 100,1%”, katanya menambahkan.
Aktivis muda asal Tahane ini memaparkan, dari sisi sosio demografi Indikator Indonesia kelihatan berbohong.
“Yang benar saja Indikator. Base Etnis Makeang, etnis Tidore, dan Sula sengaja diperkecil. Setelah itu mereka juga membuat kelompok etnis baru yaitu etnis Halmahera, Butung dan Butong. Ini etnis dari mana ke mana? Nama etnis ini belum pernah kami dengar di Maluku Utara sini. Kalaupun maksudnya adalah etnis Bitung masih bisa dimaklumi mungkin salah ketik tapi etnis Halmahera dan Butong ini etnis yang mana? Karena dalam uraian etnis sudah ada etnis Buton dan etnis lainnya. Ini artinya Indikator terkesan asal-asalan saja mencaplok nama etnis yang bahkan kami orang Maluku Utara-pun tidak pernah dengar,” papar Igriza Madjid.