Cerpen Karya: Suwarsono
“Besuk tanggal 17 hari ultahku, ayo kita ndaki lagi?” kata Son.
“Buat rayain ultah loe?”
“Emangnya siapa yang ultah tanggal 17?”
“Oke siyap aja asal ada traktirannya.”
“Tentu guys, akomodasinya semua gue yang siapin.”
“Asyiik …” kata kawan-kawan Son.
“Berangkat,” seru mereka semua.
Di hari Sabtu biasanya banyak pendaki yang hendak menggapai puncak Gunung Penanggungan yang tingginya sekitar 1653 meter dpl itu. Jadi, perjalanan mendaki gunung ini tidak terlalu berat dan sulit. Hanya di kaki gunung saja yang tampak berat karena gunung penanggungan termasuk gunung yang kering. Maka tak ada sumber air sedikit pun dari kaki sampai puncak gunung. Sepertiga bagian sebelum puncak adalah padang ilalang berbatu-batu, besar kecil.
“Suatu saat aku ingin ke Semeru,” ucapku.
“Aku juga,” jawab Bakri.
“Aku ingin foto di Ranu Pane,” kataku.
“Foto sama siapa?” tanya Bakri.
“Sama…Dea dong…,” jawabku sambil tertawa. Bakri tahu aku naksir Dea, adik kelasku. Tapi sayangnya Dea itu anak mama. Dia tak ikut Pepala, pelajar pencinta alam. Dia aktif di ekskul SS, Sanggar Sastra. Dia sesekali ikut acara kemah pramuka untuk mencari inspirasi menulis saja.
“Andai Dea ikut ya…,” kataku.
“Mimpi kali…,” jawab Bakri sambil menertawakan aku.
Tanpa persiapan yang ribet aku dan enam teman satu sekolahku berangkat ke base camp pendakian Gunung Penanggungan di Trawas. Tiba di sana sekitar pukul enam sore. Kami sudah beberapa kali mendaki ke sana. Namun satu orang temanku belum datang. Bakri pesan pada Hanif akan menyusul. Dia akan berangkat sendiri. Tak apalah.
“Kok lama ya?” kataku
“Masih di perjalanan,” jawab Hanif.
“Kita tunggu saja, ayo salat Isya dulu,” ajak Lutfi, yang terkenal jadi kiainya grup blakrakan ini. Kami beranjak ke musala kecil di base camp yang termasuk fasilitas kantor Perhutani setempat. Tak lama setelah salat, kulihat dua motor masuk area base camp beriringan. Karena malam mereka tak tampak dengan jelas. Mungkin pendaki lain, mungkin juga salah satunya Bakri.
“Hallo guys, are ready to climb?” sapa Bakri.
“Lama banget sih?” jawabku.
“Iya, soale aku bawa surprise untuk kamu?” ujar Bakri
“Surprise?” tanyaku tak paham maksudnya.
Belum sempat Bakri menjawabnya, dua orang mendekatiku dan menyalamiku.
“Hai,” sapanya. Aku terkejut bukan main. Jantungku rasanya mau copot. Ternyata dia adalah Dea dan satunya adalah Hida. Aku dengar Bakri telah jadian dengan Hida. Aku grogi dan kikuk. Pasti ini ulah Bakri.
“Oke, anggota sudah lengkap bahkan ada tambahan. Ayo bersiap. Ayo periksa perlengkapan masing-masing,” kataku.
“Bak, tolong didaftarkan dulu ke petugas base camp, kalau anggota kita tambah dua,” pintaku pada Bakri.
“Siap,” jawab Bakri kayak tentara. Bakri memang bercita-cita jadi tentara maka gaya bicaranya sudah seperti tentara. Aku tersenyum saja melihat gaya Bakri. Sekelebat kulihat Dea memandangku. Kemudian Bakri berjalan menuju pos base camp diikuti Dea dan Hida.
Tepat pukul setengah delapan malam kami bersembilan mulai melangkahkan kaki setelah berdoa bersama. Jalan masih datar dan landai karena masih di dalam wilayah desa terakhir di kaki Gunung Penanggungan. Jalan makadam, jalan tanah terlewati dengan lancar. Aku berjalan paling belakang. Di depanku adalah Dea, kemudian Hida. Yang dapat giliran jadi leader adalah Bakri.
“Istirahat…,” teriakku pada leader karena kulihat Dea jalannya kian melambat. Bakri menghentikan langkahnya. Aku dengan senter di tangan mencari tempat yang aman buat duduk untuk Dea.
“Minum Dik,” kataku pada Dea sambil memberikan sebotol air mineral.
“Makasih,” jawabnya pelan. Dea meminum air itu beberapa teguk kemudian mengatur nafas. Hida mendekat dan duduk di sebelahnya.
“Semangat, semangat,” katanya memotivasi Dea.
Dea tersenyum dan akan bangkit dari duduknya. Kuulurkan tangan dan ia sambut tanganku lalu kutarik untuk membantunya berdiri.
“Thanks,” ucap Dea.
“You are welcome,” jawabku.
“Ready?” tanyaku.
Dea langsung berjalan di depanku. Aku mengikuti di belakangnya. Jalan mulai menanjak. di depan Bakri yang masih jadi leader memperlambat langkahnya karena ia yakin dua anggota baru yang ikut belum terbiasa dengan perjalanan seperti ini.
“Mas istirahat,” kata Hida. Bakri langsung menghentikan langkahnya. Aku meneliti tempat yang digunakan untuk duduk istirahat.
“Kakinya luruskan, biar gak varises,” kataku.
Bakri secara refleks mengambil ujung kaki Hida yang ditekuk untuk diluruskan. Hida menurut saja. Bakri memijati kaki Hida.
“Sudah, sudah…,” kata Hida. Mungkin malu karena semua mata tertuju padanya. Ya, meskipun malam, cahaya bulan menerangi semesta.
Perjalanan pun dilanjutkan. Kuterangi jam tanganku dengan lampu senterku. Sekarang pukul setengah sebelas malam. Sebentar lagi kami memasuki hutan heterogen.
“Aku yang di depan,” kataku. Bakri bergeser ke belakang mengapit Dea dan Hida. Jika jalur ini lama tak dilewati, jalannya bisa tersamarkan oleh belukar dan ranting-ranting pohon yang tumbuh. Aku mengeluarkan pedang untuk membuat jalan lebih nyaman dilalui meski pendaki lain juga sudah melakukannya. Malam terus merangkak sementara langkah-langkah kaki semakin berat karena jalan setapak mulai berliku dan menanjak. Satu jam lebih berjalan kuputuskan istirahat lagi.
“Hati-hati cari tempat duduk. Hati sama scorpion,” kata Lutvi. Lutvi pernah disengat kalajengking itu pada pendakian dua tahun yang lalu. Kejadian itu ketika pas perjalanan turunnya sehingga pendakian tidak sampai dibatalkan. Ketika di tim ada cewek secara refleks semua berusaha protek pada keselamatan mereka. Aku duduk di sebelah Dea.
“Tumben mau gabung?” tanyaku.
“Pengen aja, biar enggak katanya, katanya saja,” jawabnya.
“Tapi pasti nanti kapok,” kataku. Kulihat dia tersenyum. Meski malam semakin pekat, aku masih sempat melihat senyumnya oleh lampu senter yang dinyalakan.
“Cukup istirahatnya?” tanya Bakri.
“Oke, let’s go,” jawabku.
Hutan heterogen yang terdiri atas bermacam-macam tumbuhan sudah terlalui. Selanjutnya ialah hutan pinus. Aku menyebutkan hutan homogen karena hanya ada satu jenis pohon yang tumbuh di lereng gunung ini yaitu pohon pinus. Pohonnya lurus dan tinggi.
“Besok pagi bagus selfi di sini,” kata Hida.
“Di puncak nanti pasti lebih bagus,” seru Dea.
Saat mereka asyik berbincang Lutvi melihat sesuatu di lengan Hida.
“Hida kamu diam ya?”
“Ada apa?”
“Udah diam aja, dont be panic!”
Lutvi mengambil sebatang rokok dari sakunya kemudian mengambil tembakaunya dan disiram sedikit air pada sesuatu yang menempel di lengan Hida.
“Kamu digigit Pacet,” kata Lutvi sambil menyolokkan lampu pada makhluk penghisap darah itu. Untung hewan itu masih barusan menempel dan menggigit kulit lengan Hida sehingga hewannya masih kecil karena belum banyak darah terhisap.
“Apa itu pacet?” tanya Hida.
“Sejenis lintah, biasanya di air atau rumput yang basah,” jelas Lutvi.
“Kok tahu tadi?”
“Kebetulan saja pas aku nyalakan lampu senterku tadi.”
“Makasih ya…”
“Ya, sama-sama.”
Perjalanan dilanjutkan namun beberapa langkah Dea mengalami kram otot kakinya.
“Istirahat…”
“Dea kram kakinya,” kata Hida sambil membantunya duduk. Aku segera membersihkan tempat untuk merebahkan Dea. Kugelar alas spon yang kugulung di carrier-ku.
“Duduk di sini, angkat kakinya ke atas,” kataku pada Hida. Hida itu aktivis PMR sehingga cukup cekatan memberi pertolongan pada Dea. Dea tampak meringis menahan sakit.
“Masih jauh puncaknya?” tanya Dea.
“Sudah dekat. Kita istirahat dulu. Lemaskan kakimu,”
“Kasih minum!” kata Lutvi.
Satu jam kami harus istirahat. Hida memijati betis Dea yang kram pelan-pelan. Dan terakhir diolesi krim antikram yang menghangatkan otot kaki yang kram sehingga tidak kaku lagi.
Ketika Dea sudah merasa baikan perjalanan dilanjukan. Sekarang dia berjalan bergandengan dengan aku. Kami sudah masuk padang ilalang Penanggungan. Udara dingin dan angin yang kencang terasa karena di area ini tak ada pepohonan. Kulihat jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 02.30 pagi.
“Istirahat…” kataku.
“Kenapa berhenti lagi Mas?” tanya Dea.
“Terlalu pagi Dik nanti di puncak kalo kita tidak berhenti. Ayo cari tempat berlindung,” kataku.
Kami bersembilan mendapati cekungan yang ada batu besar yang bisa melindungi dari terpaan angin yang keras. Dingin terasa menusuk tulang kami merapatkan diri agar hangat. Kulihat pendaki lain tak berhenti. Kukira mereka sudah terbiasa mengunjungi puncak-puncak gunung yang lain sehingga tak terlalu kuatir cuaca yang ekstrem.
Ketika pukul 03.30, kuajak semua melanjutkan ke puncak. Tinggal setengah jam lagi sudah sampai di puncak. Dan tepat pukul setengah lima kaki-kaki yang telah lelah berhasil menapak dan berdiri di puncak Penanggungan (1653 mdpl) dan tradisi klub kami adalah sujud syukur di puncak itu kemudian salat subuh (darurat).
“Alhamdulilah…” ucap kami bersembilan.
Di ufuk timur semburat cahaya kemerahan mulai menyembul pelahan.
“Ayo foto-foto, itu sudah terbit mataharinya,” kata Dea gembira. Kami berfoto-foto dengan background shinning sun yang indah tak terlukiskan.
Teman-teman, pendakian ini adalah hajat Son yang hari ini berulang tahun.
Happy birthday to you…
Happy birthday to you…
Happy birthday to you…
Mereka bernyanyi untukku. Dan yang tak terlupakan adalah mereka memberi ucapan selamat ulang tahun kepadaku.
“Met ultah Mas,” kata Dea. Tatap mata kami bertemu.
“Terima kasih,” jawabku.
“Tembak sekarang, tembak sekarang, sekarang juga…” kata teman-temanku bernyanyi bersama.
“Jadian sekarang, jadian sekarang, sekarang juga…” kata teman-temanku memprovokasi aku.
Aku gelagapan. Aku grogi. Tapi akhirnya kuucapkan juga, “Maukah kau jadi kekasihku?”
“Mau,” jawab Dea.
“Ini edelweiss untukmu,” kata sambil memberikan bunga edelweys yang sempat kupetik.
“Terima kasih,” kata Dea.
Aku meraih tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan setangkai bunga edelweys di tangan. Kemudian teman-teman mengambil foto kami berdua. Aku bahagia sekali hari ini. Terima kasih Tuhan. (*)