Cerpen Karya: Muhamad Taufiq Mubarok
KALBU berdebar. Malam ini aku akan mendapatkanmu atau justru kehilanganmu. Sedikit aksara sudah kusiapkan untuk mengutarakan rasa, semoga semua sesuai rencana.
Notif WhatsApp darimu terus berkicau dari saku kemejaku. Ntah itu kamu yang ingin meminta kepastian atau cuma ingin melanjutkan topik kita yang tadinya penuh senda.
“Lu kemana aja si Mar, sedari tadi kau tiba-tiba ngilang, pesanku tak kunjung kau balas”.
Aku yakin dia mengirim pesan itu dengan perasaan jengkel, tapi dia tak tau kalau sebenarnya aku sedari lembayung tadi berlatih untuk memulai berbicara serius denganmu. Aku tak yakin dengan semua ini, namanya Istamala lalu digandengkan dengan namaku Sumarno, itu bak Chandra dan Buana yang memang terlihat aksa. Ya sudahlah, meski terlihat aksa tapi Chandra berhasil membuat Buana jatuh cinta oleh terang sang Chandra itu sendiri.
Malam kian berselimut sunyi, tapi aku masih berdiam diri sembari didekap oleh ketidak percayaan diri. Ponselku berdering, sudah kuduga itu pasti Mala yang menelepon.
“Sumarnooo”
“Hehe, hiya La, maaf aku hanya termangu melihat fotomu di isi galeryku, sampai lupa akan pesanmu tadi”
“Ha,?”
Astaga, gini ni kalau hati sendiri yang berbicara, jadi keceplosan.
“Eh bentar La, aku dipanggil Ibu, nanti saya telepon lagi, maaf” Dengan bodohnya aku mematikan telepon dan lari dari Mala.
Aku menghela nafas. Memang benar diriku ini sudah terpikat erat akan Anak Dara itu. Kubuka lagi kutipan aksara tadi yang kusiapkan di sesobek kertas. Beberapa bait sajak yang mungkin cukup untuk mengutarakan rasa yang kusimpan satu tahun ini. Sekali lagi aku menghela nafas memberanikan diri untuk menelepon Mala kembali.
“Akhirnya kau telepon lagi, kenapa si lu Mar hari ini?”
“Aku hari ini demam panggung La, hehe”
“Maksud lu?”
“Dengarkan ya” Kuambil sesobek kertas yang bertuliskan bait sajak tadi, dan pertunjukan pun dimulai.
“Mala, semua ini tak semu, kau selalu semangatkan rindu pada senyummu. Setiap saat aku terdiam dalam nyaman, sampai tak hilang dalam angan. Kau memang benar-benar menawan”
Tapi tak ada respon dari Mala, aku rasa dia sedang siap-siap untuk menertawakan ini semua, sajakku tadi sudah pasti terdengar cengeng di telinga Mala.
“Lu kenapa Mar?”
“Ternyata aku mencintamu la”
“Sejak kapan Mar?”
“Emm, satu tahun, satu tahun kupendam ini La”
“Gila ya lu Mar”
Di balik telepon kudengar isak tangis Mala. Astaga, apa aku membuat kesalahan, apa itu tadi membuatnya tak nyaman. relung kalbu termangu merasa sayup. kesekian kali aku menghela nafas dalam-dalam untuk memulai obrolan kembali
“La?”
“Gila lu, aku menunggu kata itu selama dua tahun dan kau baru mau bilang itu hari ini”
“Maksudnya La?”
“Aku juga menyukaimu Mar, dua tahun berharap kau juga suka balik ke aku. Sebelum kita saling akrab aku sudah menyukaimu. Dulu, waktu kita masih SMA aku cuma bisa melihatmu dari balik jendela sembari berharap kau akan menyapaku duluan. Tapi menurutku itu semua bakal kelabu, tak akan ada korelasi yang akan berdampak padaku. Pada akhirnya kau lulus duluan, dalam benakku itu mungkin terkahir aku akan melihatmu, meskipun lain waktu bisa tapi tak bisa sesering di jam sekolah. Tapi Tuhan maha adil, tuhan tau apa yang aku minta. Nyatanya pasca kau lulus kita semakin dekat”
Aku tak percaya dengan apa yang kudengar barusan dari Mala, aku tak tau harus bicara apa lagi. Aku bahagia bak melihat bianglah meskipun di malam hari, Astaga.
“Aku mau Mar, aku mau menjadi pacarmu, meskipun lu agak brengsek sudah membuatku menunggu dua tahun, tapi aku tak akan marah Mar, jadi aman.”
“Kau perempuan pertama La yang membuatku merasa bahagia seperti ini, aku tak menyangka kau sekuat itu menunggu kepastian dariku. Dulu, setiap hari aku berkarya dengan angan. Setiap hari kubuat cerita kisah romansa kita dalam khayalan. Dan dulu setiap hari aku yakin, jika omongan bisa jadi doa yang terkabulkan, dan kubilang detik ini semua akan jadi kenyataan, terima kasih La.”
“I Love You Mar”
Lagi-lagi aku menghela nafas dalam-dalam dan.
“I Love You Too Istamala”
Dia Cantik, setiap detik dia buatku tak berkutik. Hari ini tak lagi temaram melainkan kutemu terang, bukan lagi kegundahan melainkan berselimut senang. Aku yakin semua tak akan lepas dari sebab akibat. Mungkin ini kenapa aku memilihmu, karena aku tau akan berakibat baik untukku. Sekali lagi terima kasih Istamala. (*)