Oleh: Radhar Tribaskoro, The BRAIN Institutte
Pemerintahan Prabowo Subianto yang akan dimulai pada akhir 2024 tidak akan memiliki awal yang mudah. Salah satu tantangan terbesar yang menunggu adalah beban utang pemerintah yang sangat besar. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Keuangan, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp8.338 triliun (lihat grafik), dengan sebagian besar jatuh tempo dalam beberapa tahun ke depan. Ini artinya, dalam masa kepemimpinan Prabowo, pemerintah harus mengalokasikan jumlah yang sangat besar hanya untuk melunasi utang dan bunganya, di luar kebutuhan rutin belanja negara lainnya.
Situasi ini tidak datang begitu saja. Selama bertahun-tahun, pemerintah terus mengambil utang untuk membiayai pembangunan infrastruktur, subsidi, dan belanja sosial. Pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini, memaksa pemerintah mengeluarkan stimulus besar-besaran untuk menopang ekonomi yang nyaris ambruk. Kini, saat ekonomi mulai kembali stabil, utang yang telah diambil harus mulai dibayar, dan ini menjadi tantangan berat bagi pemerintahan baru.
Salah satu penyebab tingginya beban fiskal ini adalah banyaknya utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Dalam satu hingga lima tahun ke depan, pemerintah harus membayar lebih dari 50% dari total utang. Ini artinya, sebagian besar APBN akan tersedot hanya untuk membayar kewajiban utang. Situasi ini semakin rumit karena sebagian besar utang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN), yang bergantung pada kondisi pasar keuangan global. Jika suku bunga dunia naik, seperti yang belakangan ini sering terjadi akibat kebijakan moneter Amerika Serikat dan Uni Eropa, maka biaya penerbitan ulang utang juga ikut meningkat.