Saban Hari di Ambon
Saban hari
Di antara tatap-tatap mata
Ramai-ramai suara
Ada yang rajin membawa rindu
Saban hari pula
Di atas meja dan kursi
Yang reot dan lapuk menemui senja
Aku menyantap pilu
Meneguk sembilu
Yang dimasak waktu
Semuanya masih seperti yang lalu-lalu
Saban hari
Dari mulut yang terkatup
Rindu dilumat
Di atas kertas
Di antara ribuan cemas
Ada kata yang tak sempat lugas
Ia di dada
Serupa perkakas perang
Dan saban hari di Ambon;
Masih ada rindu yang terus ku rawat
Seperti pala dan cengkih
Rindu disini merah serupa fuli
Emas serupa senja
Dan kuat serupa karang
Aku tak akan kalah dijajah jarak dan waktu
…,…,2017
Pena Mahina
======
Ambiguitas
Dari rembulan terlahir mangata
Aku ingin jalan panjang itu pada katamu
Yang laut dan telaga
Biru dan kelam
Riuh dan malam
Mungkin secangkir kopi bisa menjelaskan
Bahwa pahitnya tak sepahit rindu
Dan kamu bisa memahami bahwa;
Aku sampai nelangsa menanti perjumpaan itu
Apa benar luka adalah cinta?
Apa benar cinta adalah luka?
Lihat lagi betapa kita begitu mencintai
Tapi semoga saja aku tidak salah paham
Atau semoga saja aku tidak salah mengira
Antara mawar dan duri
Sebab keduanya itu seperti kamu yang satu
Satu-satunya yang teliti mengukir luka
Oktober 2020, Pena Mahina.
========
Pintu
Sudah ku biarkan pintu terbuka
Juga jendela
Sudah ku biarkan asa bertamu
Bahkan aku memintanya tinggal
Namun ruang masih hampa
Walau asa itu nyata
Sua riuh
Tapi tak jua memberi apa-apa
Aku ingin protes pada Tuhan
Rasa, asa dan sua yang ada
Tiada artinya
Hilang maknanya
Gugur kandungannya
Mari kita lihat lagi
Pilunya ilalang saat topan berkunjung
Apakah kelabunya awan menjatuhkan gerimis yang bersenandung sendu?
Oktober 2020, Pena Mahina.
==========
Misalnya
Misalnya kita jadi bertemu, sudah ku siapkan satu bungkus rindu yang masih gadis. Tanpa terpejam dari gejolak kabar dibalik gawai. Ia siap menemani malam kita hingga mata panda.
Misalnya kita jadi bertemu nanti di pesisir pantai tanjung Marthafonz, entah kamu membawa apa. Aku berharap dapat melihat semburat senja yang selalu ranum itu terpancar pada lentik bulu matamu. Itu akan menjadi cerita paling jingga di antara langit sore mataku.
Misalnya nanti kita bertemu, aku akan menggenggam dengan erat setiap kata yang selalu kamu sebut; aku ini patah, aku ini luka. Lalu kupungut lagi remahan rindu yang tersisa pada canda yang pernah bahak di atas meja Caffe. Lalu kita akan kembali meminum kopi yang sama pada satu malam yang pahitnya itu rindu.
Dan misalnya,
Misalnya lagi kita tak pernah bertemu, aku hanya akan mengirim rindu-rindu itu melalui gerimis di kala senja. Karena betapa mega merah sedang mekar, tapi aku masih lara seperti awan kelabu di dada langit.
Oktober 2020, Pena Mahina.
==========
Mantan Kekasih Itu Petrichor
Malam ini ia datang membawa resah di dadanya. Perihal dulu aku pernah meninggalkannya. Sebagai mantan kekasih; luka yang ia kemas di depanku bak petrichor. Harumnya yang kering menelisik ke dalam jantung yang pernah begitu tega melukainya.
Juga seperti kulacino dari segelas susu dingin di atas meja perjumpaan kita. Lukanya sangat basah, tatapannya menyimpan sendu paling getir. Hingga tanganku harus kembali menyapu lara yang ia rawat sepeninggalku.
Sebagai perempuan yang membasuh luka pada dada sendiri; aku harus memahaminya. Jika cinta alasannya, kenapa dulu aku pergi? Jika aku pergi karena takut memberi luka, apakah itu karena cinta? Betapa ego sedang menguasaiku.
Mantan kekasihku ini sudah terlalu tabah. Entah seberapa lama ia menunggu dalam kegersangan. Menerka-nerka kelabu awan. Menduga-duga hujan. Ia menjadi tabah sebagai debu yang beterbangan.
Oktober 2020, Pena Mahina.
=======