Oleh: Bito Temmar, Politisi Senior
MASYARAKAT Maluku paling bahagia walau pun miskin dan tidak inovatif?. Pertanyaan ini sungguh-sungguh menarik untuk dieksplanasi.
Pertama, parameter-parameter objektif tentang modernitas tampaknya tidak mengusik masyarakat Maluku. Artinya terdapat nilai-nilai antropologis lokal yang kemungkinan besar dibentuk secara ekologis Maluku yang umumnya terdiri atas pulau-pulau yang menjadi sandaran bagi mereka untuk merumuskan makna kemajuan.
Barangkali contoh bagus untuk hal ini bisa dilihat pada sektor perikanan misalnya. Sudah sejak lama beroperasi kapal-kapal perikanan yang menggunakan teknologi perikanan modern.
Tapi sepertinya tidak menarik perhatian warga kita untuk menjadi nelayan kapal-kapal tersebut. Mereka lebih nyaman dengan pola tangkap tradisional yang telah lama mereka kenal.
Atau misalnya bidang pertanian. Pertanian sawah sudah sejak diperkenalkan di Seram dan Buru. Tetapi sangat sulit bagi masyarakat lokal setempat untuk beradaptasi dengan pola pertanian sawah.
Ada kecenderungan mereka defensif terhadap model pertanian dari luar. Sampai-sampai introduksi metoda pertanian semisal pupuk urea misalnya, petani lokal kita malah sangat selektif bahkan cenderung resisten.
Jadi sesungguhnya secara antropologis lokal, masyarakat kita memiliki parameter tentang kemajuan itu sendiri. Bagi mereka, kemajuan tidak boleh mendestruksi nilai kesederhanaan yang terbentuk secara ekologis pulau-pulau.
Padahal, dalam takaran objektif, kesederhanaan mungkin sekali masuk kategori miskin bahkan miskin ekstrim.
Implikasinya ada pada hal kedua, yaitu nilai kebahagiaan. Lihat saja warga kita di pulau-pulau. Dalam sebulan, bisa saja mereka tidak bisa menghasilkan seratus ribu rupiah sekali pun. Tetapi mereka tidak merasa terganggu atau kuatir. Bagi mereka yang utama adalah ada pangan untuk dikonsumsi setiap hari.
Jadi sebenarnya, modernitas tidak harus bermakna universal western yang dalam dasawarsa terakhir ini menjadi semacam ekstasi global. Modernitas yang bermakna lokal seyogianya dirumuskan secara lokal dalam parameter-parameter lokal yang menjamin sustainabilitas.
Bisa saja banyak orang beranggapan bahwa pandangan saya terhadap kemiskinan dan kebahagian masyarakat Maluku cenderung aneh karena tidak koresponden terhadap universalitas makna modernitas yang diterima dan dipandang trendi. Masa bodo!
Saya merasa nyaman dan bahagia sekali melihat ibu-ibu kain kebaya yang bagitu sederhana dan apik menjaga jualannya sejak pagi hingga petang sebab disinilah saya menemukan dignity masyarakat Maluku yang dalam parameter objektif modernitas, dipandang miskin dan tidak inovatif.
Tetapi sebaliknya bagi saya kesederhanaan dan kebahagian masyarakat Maluku justru memanifestasikan makna otensitas modernitas itu sendiri. (*)