Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore
TADI pagi, seorang teman melontarkan pertanyaan menggelitik. “Bisa gak ya RUU TPKS dan RUU PPRT pengesahannya secepat RUU IKN?”
RUU TPKS adalah Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sementara, RUU PPRT adalah rancnagan undang-undang perlindungan terhadap pembantu rumah tangga.
Sebagaimana Sodara ketahui, UU Ibu Kota Negara (IKN) disahkan dengan sangat cepat. Hanya ada satu fraksi di DPR-RI yang tidak setuju. Itu adalah fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Kita ketahui, PKS adalah satu dari dua partai oposisi terhadap pemerintahan ini.
Jawaban saya terhadap pertanyaan kawan tadi singkat saja. Yakni, jika saja kedua rancangan undang-undang itu melibatkan Rp 466 trilyun, pasti bisa!
Saya sama sekali tidak tertarik pada perdebatan tentang ibukota negara ini. Sejak dua hari belakangan ini lini masa saya penuh dengan perdebatan “Nusantara,” nama ibu kota baru itu. Sejarahwan bicara. Ahli bahasa bicara. Orang bolak-balik kitab kuno untuk mendukung dan menyalahkan nama Nusantara.
Begitulah negeri ini selama enam tahun terakhir ini. Kita berdebat hal-hal dangkal (banal). Hal-hal remeh-temeh nan receh. Dan tidak ada dialog. Orang-orang hidup dalam gelembung-gelembung yang menggemakan apa yang mereka percaya.