Yusril Ihza Mahendra: Amandemen UUD 1945 Bisa Menimbulkan ‘Kudeta’

oleh -23 views

Porostimur.com, Jakarta –Bola liar yang dilemparkan Tiga Ketua Umum Partai, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin PKB, Zulkifli Hasan PAN dan Airlangga Hartarto Golkar terkait penundaan Pemilu membuat gaduh para elit politik. Bahkan bisa menimbulkan kudeta pemerintahan.

Hal itu yang sangat dikhawatirkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra di masa yang akan datang jika benar Pemilu ditunda.

Menurut Yusril, kalau berdasarkan ketentuan dalam UUD 45 yang ada sekarang Pemilu itu tidak bisa ditunda, karena memang ribet sekali pengaturannya.

“Jadi sebenarnya kalau kita berpegang pada UUD 1945 yang berlaku sekarang itu enggak ada jalan keluar sama sekali untuk penundaan Pemilu dengan apapun yang terjadi,” kata Yusril dalam dialog dengan Radio Elsinta yang dikutip, Minggu (6/3/2022).

Yusril mencontohkan, jika Indonesia diserang oleh Rusia atau kejadian gempa dahsyat di daratan Jawa dan menghancurkan Pulau Jawa, tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 itu yang memberikan jalan keluar kalau sekiranya Pemilu itu tidak dapat dilaksanakan.

Misalnya, kata Yusril, pemilu mau dilaksanakan pekan depan, tiba-tiba terjadi gempa terus-menerus, bagaimana cara menunda Pemilu, nah, UUD 1945 tidak memberi jalan keluar terhadap masalah itu.

“Itulah titik lemah daripada amandemen UUD 1945 yang dibuat dari 1999 dan 2003 itu,” tegasnya.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini menjelaskan, terlepas dari persoalan apakah setuju atau tidak setuju pada Pemilu ini ditunda itu wewenang para elit politik, bukan urusan dirinya sebagai orang yang belajar hukum tata negara, soal mereka mau menunda atau tidak itu persoalan politik.

Lebih jauh Yusril menjelaskan, persoalan hukum itu berbicara normatif dari sudut konstitusi, kalau sekiranya negara itu menghadapi situasi tertentu, misalnya dalam keadaan tiba-tiba perang, tiba-tiba terjadi pemberontakan, tiba-tiba terjadi kerusuhan yang bersekala nasional, tiba-tiba terjadi bencana alam yang dahsyat gempa terus menerus, tiba-tiba terjadi wabah penyakit yang tidak dapat diatasi dan bersekala nasional, lalu apa jalan keluar untuk menunda pemilu itu.

“Sekali lagi saya tegaskan, UUD 45 sama sekali tidak meberikan jalan keluar terhadap hal itu. Jadi, kalau misalnya pada 1967-1969 itu Bung Karno di berhentikan oleh MPRS, MPRS bisa menunjuk Pak Harto sebagai pejabat Presiden. Sekarang MPR itu jangankan mau menunjuk pejabat Presiden, masa jabatan dia saja sudah habis,” tegas Yusril.

Kalau masa jabatan MPR sudah habis, ya sudah ilegal, dia sudah tidak bisa melakukan tindakan apapun. Nah, kalau masa jabatan MPR itu habis, DPR habis, DPD habis, DPRD habis, presiden-wakil presiden habis masa jabatannya, menteri habis masa jabatannya, terus Presiden itu merintah-merintah orang.

“Maka orang itu tanya, loh Anda ini siapa? kok merintah-merintah kita, emang Anda Presiden, Anda hari ini tidak menjabat lagi. Presiden maupun MPR dan DPR sudah kehilangan legitimasi untuk mengambil suatu keputusan,” jelasnya.

Menurut Yusril, ada dua pejabat yang masih ada dan bisa jadi mereka yang akan mengambil alih pemerintahan. Mereka adalah Panglima TNI dan Kapolri, karena mereka belum diberhentikan oleh siapapun.

Dua pejabat itu bisa diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dengan pertimbangan DPR. Tapi, tegas Yusril, bagaimana Presiden mau menggantinya, Presidennya saja sudah ilegal, DPR-nya saja sudah ilegal bagaimana mau mengganti panglima TNI dan Kapolri.

“Nah, tinggal lah dua orang itu, dan kalau mereka mengambil alih kekuasaan itu saat yang paling tepat bagi mereka untuk mengambil alih kekuasaan dalam keadaan vakum kekuasaan dan mereka legal bertindak sebagai Panglima TNI dan Kapolri,” jelasnya.

“Jadi, amandemen UUD 45 itu memberi jalan untuk sebuah kudeta sebenarnya, walaupun ada yang mengatakan tidak,” ujarnya.

“Saya tidak menuduh siapa-siapa ya, Panglima TNI sekarang orang baik-baik ya, Kapori sekarang orang baik-baik ya. tapi kita menyimpulkan bahwa itu sesuatu yang berpotensial akan terjadi di masa depan kalau terjadi apa yang saya sebut dengan krisis konstitusional tadi,” terangnya.

Jadi kalau para pihak mau mengusulkan terjadi penundaan Pemilu lepas daripada debat politik terhadap persoalan perlu dipertimbangkan. Kalau misalnya semua mau, politisi sepakat, semua partai sepakat, prsiden, wakil presiden sepakat, semua sepakat menunda Pemilu, siapa yang berwenang dan lembaga apa yang berwenang untuk menyatakan pemilu ditunda. Lalu kemudian apa landasan hukum konstitusinya untuk menunda Pemilu itu.

“Jadi persoalanya ada di dua masalah ini, lembaganya, dan apa dasar hukumnya,” ucapnya.

(red/elshinta/abadikini)