Oleh: Bito Temmar, Politisi Senior
ADA saja yang patut diingatkan kepada aktor-aktor publik di Maluku yaitu pilihan diksi dalam keputusan politik termasuk komunikasi publik.
Masih segar diingatan bagaimana seorang gubernur menggunakan diksi-diksi yang tidak patut dalam merespons pertanyaan wartawan.
Ternyata bukan hanya seorang gubernur. Fraksi Partai Golkar bahkan Ketua Fraksi PDI P Maluku juga terjebak dalam pilihan diksi yang sama buruknya.
Jadi Fraksi Golkar dalam kata akhir politiknya menilai pemerintahan gubernur Murad Ismail dan Barnabas Nataniel Orno sebagai yang terburuk dalam sejarah pemerintahan daerah di Maluku. Saya pikir pilihan diksi “terburuk”, kalau pun faktual, tidak pada tempatnya digunakan secara vonistik dalam komunikasi publik.
Seharusnya fraksi partai golkar memiliki kecerdasan untuk mengabstrasi penilaian politik atas kinerja gubernur dan wakil gubernur sedemikian rupa sehingga di satu pihak mendorong perbaikan tanpa merasa direndahkan tetapi pada pihak lain mengedukasi masyarakat politik tentang bagaimana menyampaikan pesan politik yang kritis sekali pun tanpa merendahkan.
Sama pula dengan klaim Ketua Fraksi PDI-Perjuangan tentang pembagian participating interest (PI) sebagai performa gubernur sekarang dan bukan gubernur Said Assagaf atau Karel Ralahulu.