Umar terlihat makin senang. Wajahnya makin berseri.
“Mengenai dua hari dalam sebulan itu, karena aku tidak memiliki pembantu untuk mencuci pakaianku sementara aku pun tidak memiliki pakaian yang banyak hingga bisa gonta- ganti sesuka hati. Karena itulah aku mencuci dan menunggu pakaianku hingga kering. Hingga aku bisa menemui mereka di sore harinya.”
“Sedang keluhan mereka yang keempat, adalah karena ingatanku pada saat aku belum beriman. Dulu aku melihat Khubaib Al-Anshari tewas di tangan orang musyrik dan aku tidak bergerak sedikit pun menolongnya. Sungguh aku takut akan siksa Allah kelak, hingga aku pun pingsan.”
Khalifah yang mendengar penjelasan Sa’id bin Amir tak bisa menahan keharuan yang terpancar dari matanya. “Alhamdulillah, firasatku tidak meleset,” seru Khalifah dengan suara bergetar. Khalifah pun memberikan 1.000 dinar pada Sa’id bin Amir, “Pergunakan uang itu untuk menunjang tugas-tugasmu.”
Lagi-lagi Sa’id menunjukkan kecemerlangan jiwanya. Saat istrinya bermaksud membelanjakan uang itu untuk membeli beberapa baju yang layak dan perabotan rumah tangga, Sa’id malah mengusulkan rencana yang lebih baik. Sa’id menawarkan investasi yang tidak pernah mengenal kata rugi pada istrinya. “Lebih baik harta ini kita titipkan pada seseorang yang bisa membuatnya berkembang dan bertambah.”