Cerpen Karya: Eva Zulva Fauziah
Binar senja telah redup menghantarkan bulan pada naungan langit malam. Namun, rupanya itu semua tidak membuat manusia-manusia kehilangan jalan. Kiasa dan 3 temannya masih setia di caffe Favorit.
“Nambah lagi ga kopinya?” tanya Tera.
“Tera, kau lihat sendiri kan sudah berapa gelas yang berjejer.” Kiasa melirikkan matanya kepada gelas-gelas kopi yang telah ia minum.
“Aku ingin pulang saja,” ucap Kiasa, sebal.
“Tunggu dulu, kau harus kenal dengan laki-laki yang akan aku kenalkan,” Tera berbicara sangat cepat.
“Tidak perlu, aku sudah muak,” Balas Kiasa sembari beranjak.
Ketika perdebatan itu berlangsung, seorang lelaki datang. Terlihat sangat tampan, kulit putih dan tinggi yang cukup memukau.
“Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Lama banget si ah,” Tera memaki pria itu.
“Sorry, baru selesai rapat.”
Mereka duduk, menceritakan berbagai hal. Perkenalan dengan Kiasa pun sudah terlaksana, kini mereka sudah mampu berbicara dengan nyaman. Walau, pembicara yang dominan terletak pada Sabda. Ya pemuda itu bernama Sabda, satu kampus dengan Kiasa di jurusan yang berbeda.
Setelahnya Sabda dan Kiasa tidak pernah luput akan pertemuan, sampai pada nyatanya mereka resmi menjalin hubungan. Perjodohan yang dilakukan Tera membuahkan hasil. Namun, takdir membawa mereka pada kekecewaan. Sabda meninggalkan Kiasa. Alasan utamanya, Kiasa sudah tak lagi mampu menarik perhatian Sabda. Diam-diam, ternyata Sabda telah mempunyai perempuan yang lebih menawan dari Kiasa, selain itu perempuan itu juga pandai dalam berbagai hal, cerdas. Jadi, lelaki mana yang tidak tertarik akan perempuan seperti demikian.
Hati Kiasa bergemuruh, di dalamnya telah terjadi badai yang mengerikan. Badai itu, mendorong nurani Kiasa untuk balas dendam. Ketika rencana sampai di kepala, balas dendam yang muncul bukan menghancurkan hubungan Sabda, atau menyakiti perempuan yang telah menarik Sabda dari Kiasa. Namun, rencana tersebut berakhir pada, bagaimana Kiasa bisa menjadi seorang yang mampu dikenal orang banyak dan mempunyai beasiswa unggul agar terlihat pintar.
Satu minggu selanjutnya, semesta memberi kesempatan kepada Kiasa untuk mengikuti pendaftaran Pertukaran Mahasiswa Merdeka. Usaha yang keras, menjadi rencana paling pantas untuk mengikuti PMM tersebut. Dan setara dengan usahanya, Kiasa lolos. Dengan lulusnya Kiasa, banyak sekali organisasi yang diikuti Kiasa memamerkan kelulusannya. Hal itu sampai kepada Sabda.
Pertukaran Mahasiswa akan segera dilaksanakan, tapi Kiasa merasa iba dengan dirinya. Sebab, target balas dendamnya tidak mempan. Sabda tidak datang setelah satu bulan Kiasa ditetapkan lolos. Padahal ia harap, Sabda dapat memohon untuk bisa kembali kepadanya. Dia kan penggila orang pinter, apalagi setelah Kharis ditetapkan sebagai tersangka dalam pemalsuan tiket konser.
“Apa mungkin, dia malu bertemu denganku??” Kiasa menebak-nebak.
“Ah, apa yang kamu pikirkan Kiasa? Seharusnya kau tidak perlu menyimpan rasa sakit dengan bentuk dendam, tapi kau harus menyimpannya dengan bentuk keikhlasan. Agamamu mengajarkan seperti demikian, bukan?” Kiasa berbicara pelan tetapi penuh penekanan, mengingatkan dirinya agar menghapus dendam yang ia tanamkan di hatinya.
Malam tiba, Kiasa mengundang teman-temannya untuk merayakan sekaligus acara perpisahan mereka. Tera datang dengan gugup, pasalnya dia malu karena salah menjodohkan sahabatnya dengan lelaki penggila kepintaran dan popularitas.
“kau tidak perlu bersikap seperti itu. Percayalah, Tuhan telah menyiapkan takdir terbaik untukku,” bisik Kiasa.
Acara berjalan sangat haru, 8 teman Kiasa menampilkan raut muka tak iklas karena harus berpisah dengan Kiasa. Di pertengahan acara, seseorang datang, mengejutkan orang-orang yang sedang memakan Pizza.
“Kiasa, selamat atas pencapainya,” ucap Sabda.
Kiasa ingin mengelak, tapi ia tidak mau merendahkan attitudenya demi egonya.
Sabda, membawa sebuah coklat dan kotak hadiah yang dibalut dengan nuansa bunga. Dengan canggung, Kiasa menerimanya. Keterkejutan merombak suasana malam itu ketika Sabda kembali mengutarakan isi hatinya kepada Kiasa.
“Maaf, tapi cinta yang aku butuhkan tentang keikhlasan. Bukan cinta yang tercipta karena seseorang itu mempunyai kepopularitasan,” balas Kiasa. Ia berbicara penuh ketenangan.
Sabda tertunduk malu, ia bergegas meninggalkan kediaman Kiasa. (*)