10 Besar Lomba Cipta Puisi HUT Provinsi Maluku Ke-78

oleh -148 views

Seorang Penyiar Radio yang Membaca Sepotong Tragedi

    itulah mengapa kau ingin
    sekali menjadi seorang
    penyiar radio

    sebab ia dibekali sepotong
    mulut yang mahir mengolah
    beku kata-kata jadi oktaf

    molekul berbunyi itu
    terpental berkilometer bagai tualang
    melintasi jalanan

    dusun berkelak-kelok tubuh
    petani yang menunggu siaran
    drama radio

    seperti musim-musim panen raya
    begitu juga kita yang menanti

    hari ketika penyiar itu menjelma
    sepucuk pistol dan berat suara
    sebiji peluru mendesing:

    “i siha kei wasa, i rana tunu,
    hunane resita, rene rerau”
    napas hidup segala

    lalu tahuri memetik manik-
    manik mata kita hikayat
    sepotong tragedi

    manusia maluku dalam
    tiga babak: perampasan,
    kekerasan, dan

    pembunuhan sejak purba
    dan tidak diketahui

    siapa-siapa

    ingatkah kau pada kisah ini
    tanya penyiar malang itu
    di sela hela

    lepas napas, sementara aku
    sudah sehelai kabut memeluk
    bukit-bukit yang menyembunyikan
    raut mukamu

    seperti penyiar itu, sekali waktu
    kau berkata:

    nasib dan maut kita telah dipahat
    pada dadu ular tangga atau papan
    catur mainan masa kanak-kanak

    : sebuah dunia rautan ujung
    krayon dan saat bocah

    kita adalah penyihir ulung menyulap
    hitam kain jadi putih kupu-kupu

    cuma dengan sebuah kata ajaib
    “bim salabim abrakadabra”

    kekasihku, pada kadera kayu
    jati ini aku rebahkan riwayat
    hari kelam yang onak duri

    oh, alangkah congkak kapal-
    kapal melego sauh

    dalam samar fajar orang asing
    mengubah dermaga

    jadi gelanggang

    niato e manisa loto hatuhaha
    sesudah itu perang alaka

    sihala takabir loto nusa hitu
    sesudah itu perang hitu

    salawato e manahu lau nusa iha
    sesudah itu perang amaiha

    pipi korobane na emata lia luhu,
    sesudah itu perang huamual

    kekasihku, pada kadera kayu
    jati yang biasa

    kita duduk mendengar berita
    harga cengkih dan kopra

    atau gesit merebut gagang telepon
    tentang siapa di antara kita me-
    request lagu lawas 90an

    dan karena ihwal itu sepotong
    bara meletup dalam dada kita

    yang dupa mengepul selembar
    lenso seputih hujan disangkal

    semua mantel dan jalanan kota
    kita yang terbuat dari sisa arang

    tetapi, lekas-lekas kau melarai:

    unggun amarah hanya menyisakan
    setumpuk abu

    sia-sia bukan?

    kekasihku, pada kadera kayu
    jati yang masih menyimpan
    aroma tubuhmu

    aku duduk terhenyak di sela-
    sela salak anjing dan riuh meriam

    saat orang asing mengambil
    segala, kita kehilangan seluruh

    tapi sebetulnya siapa orang asing
    itu? mereka yang datang dari ujung
    benua

    atau kita yang tercerabut dari ingatan
    sejarah dan akar budaya?

    tanya penyiar itu untuk terakhir
    kalinya

    setelah itu monolog padam

    dari dalam radio kudengar
    bunyi gelang kakimu

    dan larik-larik lagu favoritmu,
    Donna Donna Joan Baez

    makin melankolis

    “stop complaining!” said the farmer
    who fold you a calt to be?
    why don’t you have wings to flay whith?
    lake the swallow so proud and free

    ======

    Surat Untuk Naira

    Karya: Ammar Hafid Sabban

    Naira, semua pagi dari semua hari masih begini saja. Dingin yang berakar pada embun di pucuk-pucuk pala tak pernah mendefinisikan rindu. Tapi kuingat alismu mengerut, barangkali hanya sejenak kala itu, tuhan mendangkalkan Palung Banda untuk kita seberangi menaruh cinta di Binaiya.

    Baca Juga  Pesta Gol, Meriam London Cukur PSV Eindhoven 4-0

    Naira, semua siang dari semua hari masih itu-itu saja. Panas yang menghardik kesialan di bumi manusia,

    — menjadi tak berdaya saat kita mencumbu kopi yang sama di Mardika.
    Bibirmu masih terlekat rindu,

    dan aku barangkali masih terjebak dalam kenang siang bolong itu.

    Naira, semua sore dari semua hari masih sama saja.
    Tak kutemui senyummu yang sabit dalam senja di antara gedung-gedung ibu kota.
    Jakarta terlalu sesak menampung kesunyian.

    — dan kehilangan Ra,
    kehilangan tak pernah mengajarkan yang lain selain rindu.

    Naira, semua malam dari semua hari telah kutanggalkan

    — saat ciuman pertama kita curi di Belgika.

    Dingin tanganmu adalah karang-karang di arafura, aku karam dan hanyut.

    — Temui dan cintai malu-ku

    Naira, jika besok telah menyerah menjadi hari ini
    aku ingin kau ingat Ra.
    pohon baru akan tumbuh
    dari daun terakhir yang gugur.

    =====

    TABULI

      Karya: Remzky Nikijuluw

      Unu, kenyataannya waktu bagaikan Tabuli yang kau tiup, sembilu. manakala maut sudah memagut ubun-ubun. Mengawang di udara terkulai satu demi satu, kau kirim satu-satunya pesan paling lengang, bergeming seorang lelaki mengusap hati yang patah melata.

      Aku meniup menghadapmu barat daya, saban hari kau menunggu di tenggara. Aku meniup untuk hidup, sebab itu aku menunggumu waktuku. Tabuli yang paling merdu, hanya kau, Unu.

      Nuruwe, di satu lorong angin, ada mantra yang dirapal ulang-ulang. Bulu adalah keramat jiwa-jiwa orang mustakim. Maka dengarlah suara Tabuli pada angin yang lurus menikam telinga.

      Agustus 2023.

      Wildears.

      Catatan: Tabuli adalah sebuah alat tiup yang terbuat dari bambu. Biasanya digunakan sebagai alat komunikasi. Menyampaikan pesan kematian, ritual dan acara-acara adat.

      =====

      Pamali Lingat

        Karya: Bobby Tri Stevan Sopamena

        dahulu
        matahari memberi diri
        sedekat mungkin,
        dengan laki-laki
        dengan perempuan.
        alangkah sunyi dan permai
        laut di hati nyai nyai dan
        datuk datuk.
        tak lupa tabweri,
        yang sentosa di ujung pandangnya
        gadis-gadis dirawat,
        dipakaikan tenun satu badan
        saban sore.
        o, betapa diri mereka tulus
        membagi-bagi saguer darah
        dan aroma babi, teteruga, ikan-ikan
        pada badan hutan lagi samudera itu.
        rumah kampung tempat mereka
        persembahkan kurban keluarga.
        tetapi di bibir kampung itu
        ada lingat yang menenun
        napas orang Tanembar.
        dibuang segala fana mereka
        dan kenakan jubah
        dari angin-angin laut.
        lelaki berburu
        lelaki molo-molo jao.
        selepasnya,
        pulang barembeng
        membawa hasil tangkapan
        yang hendak bermantra di muka tungku
        oleh perempuan-perempuan
        yang sekujur tubuh mereka
        memandikan bunga rampai.
        “sudah selesai.
        mari mama-mama manis,
        bawa perjamuan ini
        bagi Ubu, bagi kaki Ubu.
        mari badendang ramai
        pono sujud, pono syukur,
        kita menari Tnabar Vanewa
        kita keku balanga, kita keku bakul.
        sio kasiang, Ubu sudah lapar.
        pujaan hati sudah lapar”.
        “kida, kida. mari e.
        mari katong koliling ub’lingat,
        Katong menari Tnabar Ilaa.
        katong kasih pa Ubu dolo
        karena Ubu yang dulu kasih pa katong”.
        “o Ubu o. Ya Ubu o.
        di ub’lingat ini
        mari tabaos bagi perjamuanMu”.
        “ya Allah, minumlah saguer ini.
        berilah hasil baik pada pohon-pohon sadapan itu,
        agar bersama dengan Dikau
        kami nanti meminumnya lagi
        di sini, di dalam lingat”.
        “ya Allah, makanlah kulit dari tulang rahang babi ini.
        dan bila kami pergi ke hutan,
        bantulah supaya kami berhasil dalam perburuan,
        agar setelah kami pulang, Engkau di sini, dalam lingat,
        menikmatinya lagi ya Allah”.
        “kese, kese, mari dudu.
        Katong bicara Kampong.
        mari katong jadi tiang
        mari katong jadi atap.
        mari katong makan, supaya katong kuat
        pameri kabong baru.
        supaya katong kuat batanam luhur
        biar jadi lingat bagi anana cucu”.
        “bapa o, mama o.
        katong pasti bangun benteng portugis
        benteng balanda, sabadang,
        untuk katong punya gadis cendrawasih
        di kolong Rahan Tnebar ini”.

        Baca Juga  Perkuat Pengawasan, Bawaslu Tidore Kepulauan Libatkan Pers Dalam Pemilu 2024

        Ambon, 2023

        ======

        Suatu Hari Kau Maluku

        Karya: Muhammad Isya Gasko

        Dalam irama tifa perjaka
        Perawan-perawan menari
        Tarian magis, mengundang para pelancong
        “Ya Dukwai, Biarlah kami beria, biarlah kami bercinta sampai pagi”

        Suatu hari kau Maluku
        Epos tubuhmu yang gadihu
        Pun sauh selangkanganmu
        Aku ingin kita bercinta sekali lagi
        Sebagai sepasang Alifuru
        Yang saling menunggu dengan api
        Di ranjang yang belum kita jadikan puisi.

        Satu hari kau Maluku
        Dalam mulut tempayang
        Sepasang bibir memeluk kehausan
        Setelah meriam dan peluru menikam rahimmu
        Tapi dadaku tetap api kesucian itu
        Memeluk nafasmu:/ merasa desahmu
        Mengingatmu sebagai kekasih paling Alif:/ Uru.

        Suatu hari kau Maluku
        Pada matamu yang wangi fuli
        Pun punggungku yang gaharu
        Kita telah jatuh
        Seperti pohon-pohon sagu
        Tak lagi merasakan ereksi
        Mampus sudah birahi
        Lenyap sudah ciuman di pipi.

        Suatu hari kau Maluku:/ Ri.

        Jargaria, 10 Agustus 2023

        Catatan kaki:
        Dukwai: Tuhan (Bahasa Dobel, Aru tengah timur)

        =======

        Cinta dalam Suara Ombak

        Karya : Leonard Samuel Tiven

        I
        Niscaya dengarlah
        sejatinya manusia harus tahu diri
        pada hidup yang pulau.

        Sebagai ombak
        lautan menjadi cinta:
        kala angin meniup rada sejuk
        kubelai rambutnya yang teluk
        murni matamu nan biru
        hidupmu Sekuda dan Kakatua
        lalu kukecup bibir manismu
        karang dan pasir.

        II
        Hari terus berlalu
        sekarang kita dibuat luka
        sayangku, jangan takut
        aku sangat mencintaimu
        dari lubuk terdalam laut
        kubawa pesan kepada tepi
        bahasa buih sendu kalbu:
        kepada tete-nene moyang
        mungkinkah sebagian anak manusia
        hanyalah tubuh tanpa jiwa
        hilang sesat di tumpukan kemasan bekas
        hanyut di selokan
        terbawa derasnya hujan
        hingga ke kaki sungai
        terputar arus masuk dan keluar
        apakah cintaku tidak berharga?
        kotor mata yang biru
        hidupnya tercemar
        sakit hatiku

        Oh, sayang
        kau jangan sirna harap
        aku masih setia
        tak putus-putus kubawa pesan kepada tepi:
        termenung atau bahagia?
        tidak lama kembali
        tiada rindu atau amarah
        trah nyong dan nona manis sehat sentosa
        namun ironis terjangkit penyakit kota
        romantisme semu di badan-badan talut city of music
        ngemil sambil memadu asmara-asmara palsu
        sehabis itu buang teh kotak, teh gelas; cheetos
        sayangku bukan tempat sampah!
        sakit kian terasa
        rusak sanubari

        III
        Tenang sayang
        jangan menangis sendu
        cintaku padamu besar kesadaran
        sebab tak ada akhir untuk kita
        entah kini dan yang akan datang
        senantiasa menjadi satu
        selayaknya cinta sang pencipta
        untuk seluruh ciptaannya

        Baca Juga  Erdogan: Dewan Keamanan PBB tak Lagi Jadi Penjamin Keamanan Internasional

        Teluk Ambon, 02 Maret 2022

        =======

        Batang Sagu

        Karya: Emawati Hanubun

        sejak pohon sagu masih belum tempang
        ia adalah metamorfosis leluhur para tetua
        bayi-bayi tumang ditimang beragam mulut
        nona-nona badansa dekat bara dan tungku

        matahari masih paleo waktu itu
        kain merah mengular di dahi mengkilap para opa
        mereka duduk melingkari paparisa
        hidung mana yang berani menolak aroma hangus kayu bakar?

        cakalang kuah kuning memotong ombak
        mereka ingin kawin lari dengan papeda di saat bulan pake payong
        para-para menjelma altar untuk pantat balanga yang masih mengepul
        para oma berkeringat di bawah asap yang berputar di atap

        di kampung; perut ibuku tidak bersekutu dengan beras
        ia hanya mencintai dan berenang di tumpukan tumang
        setiap kali ayam jantan kukuruku
        tubuhnya mekar menyerupai sayap maleo

        lalu ayah melatih tangan ibuku di ibu kota
        jari manisnya bersemayam lumbung padi
        kemudian aku lahir dan membenci setiap nyanyian
        tentang pohon dan batang berduri

        Ambon, Agustus 2023

        ======

        Kau Kutulis Jadi Puisi

        Karya: Firman Wally

        Aku menemui jejakmu yang kaku
        di jalan yang diberi nama rindu
        ketika malam sibuk mengubur senja
        di telaga mataku

        lalu kau kutulis kembali
        di majalah kumpulan puisi
        supaya waktu tak lebih bercahaya
        melangkahi binar senyummu

        Aku menulis dengan tangan
        yang seringkali menyebut namamu
        di tirai malam
        agar riwayat pertemuan kita
        tidak dilumat congkaknya waktu

        Tahoku, 02 Agustus 2023

        ======

        Gelang Langit

        Karya: Abdul Wahid Rumagia

        Seruncing tombak nyonya Martha
        membelah lautan dada serupa tongkat Musa
        aku laksana Majnun yang membusuk di kubur Layla..

        Sentuhan-sentuhan selain mu adalah pedang
        selain tatapan mu adalah belati tertusuk
        pada hidup dan mati pun tiada guna

        Gelang-gelang langit sirna
        malam enggan bersua; serta
        siang entah terusir kemana

        Ambon, 2023.

        =====

        CINTA KITA SEUMPAMA PAPEDA DAN IKAN KUAH KUNING

        Karya: Dean Philip Izaac

        Pagi yang ditumbuhi embun ombak
        Laksana detak jantung laut arafuru
        Aku mengecup bibirmu yang banda neira
        Sejenak kurasakan kecutnya sejarah
        Pengasingan bung Hatta dan Bung Syahrir
        Berdiam di istana sunyi disiksa sepi

        Aku mengenang masa itu
        Mataku dan Matamu bersua
        Lalu bercerita tentang gunung binaya
        Kabutnya teguh merawat rahasia

        Siang yang riuh oleh tiupan tahuri
        Matahari turun dari cakrawala nusa ina
        Raut wajah mendung langkah gaba-gaba
        Bumi lebih terik dari biasanya
        Keringat di badan menjelma butiran api

        Aku dan kamu mendekap angin
        Sejuk harum panen cengkeh
        Merasuk ke pembuluh darah
        Hanyut kita pada rasa rujak pantai natsepa
        Sukacita meledak, aku genggam jemarimu
        Lekas menari di hamparan pasir putih waktu

        Sore yang genit itupun tiba
        Kita menyusuri jalanan kota yang basah
        Dibasahi air mata insan sopi
        Menggunakan motor tua peninggalan opa
        Ditunggangi banyak kenangan
        Romantisme cinta muda

        Di atas motor kau memelukku
        Sentuhanmu lahirkan madu
        Katamu berbisik :
        Semoga cinta kita seumpama papeda
        Dan ikan kuah kuning saling melengkapi
        Nikmat !

        Ambon, 11 Agustus 2023

        =====

        No More Posts Available.

        No more pages to load.