Kritik untuk KNPI

oleh -134 views

Oleh: A. Malik Ibrahim, Sekretaris DPW Partai NasDem Maluku Utara

TADI  malam (Rabu, 9 Agustus, 2023), bertempat di Cafe Sabeba Ternate, saya diundang diskusi oleh adik-adik KNPI. Topiknya menarik, “Napak Tilas Kepemudaan, Refleksi Ketua-Ketua KNPI”. Dari lanskap politik pemuda/KNPI, sebagai refleksi untuk sebuah titik temu yang mempersatukan. Seturut kita bertanya; apakah forum ini adalah representasi kegelisahan anak-anak muda Maluku Utara, atau sekedar menyampaikan  igauan dari tidur panjang?

Bagi saya, hari-hari lampu itu telah berlalu. Lima  puluh  tahun yang silam, ketika Deklarasi Pemuda dicetuskan, fase yang menandai kelahiran KNPI. Tepatnya, 23 Juli 1973. Apa arti kehadiran KNPI? Apakah KNPI sengaja dibentuk untuk menertawai sikap nativisme pemuda? Atau justru mempertanyakan kembali bentuk-bentuk legitimasi, mitos-mitos dan romantisme kepeloporan pemuda? Orang nyaris tak butuh kernyit dahi untuk menyimak gejala pelemahan itu. Boleh jadi, andai pemuda menjadi semacam hero, ia tak lebih dari sekedar simbol dari suara-suara yang membungkam.

Lima  puluh  tahun telah berlalu. Dan zaman pun berubah,  seraya mempercepat gerak gegas orang-orang. Ada riak, ada ombak. Tapi tak ada gelombang. Pemuda, entah oleh sebab apa, seperti menyadari bahwa mereka hanya sebuah sosok tanpa identitas. Begitu banyak kisah anak-anak muda yang gemuruh tapi kemudian sedih. Di tengah perubahan sosial budaya yang tak tenteram, “kediamdirian” hanya suatu gejala. KNPI dapat mendengar suara itu, jika dapat membebaskan diri dari segala bayangan, dari kenangan masa lalu, dan dari optimisme  masa depan.

Tetapi alangkah susahnya membayangkan sikap serupa itu. Tentang kesan-kesan “ziarah politik pemuda” sejumlah cendikiawan berkilah. Bahwa Negara telah tumbuh menggelembung dengan fungsi-fungsi baru. Sebagai satuan sosial, ia merangkum dan menyatukan tiap pribadi, malah menghunjam sampai ke saraf. Maklum, inilah zaman ketika korporatisme menjadi dogma dan bergumul secara dialektik dengan kekuatan pemuda. Proses ini berjalan berdampingan dengan melemahnya pola artikulasi politik pemuda. Manifestasi lebih lanjut, aspirasi pemuda menjadi luntang-lantung tanpa fokus peleburan diri. Bersama pekik ribuan anak muda, suara itu begitu gemuruh tanpa tahu untuk siapa.

Baca Juga  Begini Cara Lepas dari Kecanduan Smartphone

***

Ini semua refleksi zaman. Lalu mendadak masuklah kita ke zaman modern dan kosmopolitan. Satu hal yang harus dicatat, bahwa selama ini KNPI hanya diposisikan untuk melayanani libido kekuasaan dan tak begitu bersemangat memberdayakan pemuda kampung.  Masih seperti dulu: gemerlap dengan tepuk tangan dan sambutan meriah. Ia merefleksikan gambaran korporatis—lengkap tergambar dengan hirarkinya, etiknya, normanya dan lengkingan terompetnya. Seolah menyindir dengan satir-satir kecil, tanpa ada yang merasa ditertawai. Nyaris waktu terus bergerak di depan kita. Kini, pesta pora  itu telah usai. Teka-teki, kasak-kusuk, selentingan dan retorika hafalan sampai strategi dagang sapi tinggal kenangan. Rasanya, sudah saatnya pemuda  bangkit dari kursi malas. Beringsut dari masa senggang rutinitas yang acap kali membuat mereka kehilangan orientasi. Padahal di seberang sana ada sejumlah persoalan dan sejumlah tawaran penanganan. Setidaknya berperan  memberi makna terhadap pemupukan moral concern dan intelektual exercise bagi pemuda. Kemudian, sejauh bisa mencari pengertian yang lebih lengkap tentang kerangka gagasan perubahan.

***

Konon, waktu dan manusia  adalah satu. Struktur waktu memberikan historisitas yang menentukan situasi kita dalam dunia empiris. Jam dan kalender menjamin bahwa kita benar-benar manusia waktu. Kekhasaan inilah yang memberi arti hidup atas kenyataan. Sayangnya, waktu bagi kita terkadang dilakukan seperti kata benda, lepas dari diri seseorang. Sebagai misal, seorang ayah nampak lebih sibuk merencanakan masa depan anaknya, ketimbang menjadi pendukung masa depan itu. Siapapun yang mengikuti dengan seksama dunia pemuda, apalagi di era disrupsi dan inovasi ini pasti mendapat kenyataan bahwa pemuda  memang tak punya daya saing.  Ini membawa saya pada sebuah pemikiran tentang betapa masih diperlukan suatu apresiasi dari kemampuan mencerna pada orang muda.

Baca Juga  Selamat Datang Politik Kebhinekaan

Bukan saya mau menyindir, bung. Tapi inilah zaman yang teramat banyak menuntut. Bila rasa nyaman dan fantasi berubah bersama waktu, disitulah orang sering tersesat untuk memuja jalan pintas. Barangkali karena itu, dalam masa yang membutuhkan hentakan kaki, kata “pemuda” kerap menjadi suatu cap yang gagah. Dan dalam tiap institusi, selalu ada orang yang hanya puas dengan soal yang itu ke itu, dari waktu ke waktu. Memang ada citra yang hambar tentang institusi KNPI. Tanpa warna. Kurang greget dalam menggelimangi soal universal. Pada saat kita menelaah posisi, penilaian dan tinjauan kita tentang program kerja—sebagian atau seluruhnya cuma menyodorkan acuan hura-hura. Lepas dari analisa potensial, utamanya menyangkut kekacauan berfikir, kerendahan kreativitas, kelemahan daya hidup atau lebih luas ledakan jumlah penduduk.

Saya tak ingin melebih-lebihkan proses kreativitas itu seolah sebuah kepayahan. Tanpa detektor dan radar paling canggih pun feling kita dapat menangkap isyarat bahwa sepanjang hayat dikandung badan, pemuda tak pernah dilatih sebagai manusia alternatif. Kita jadi biasa dengan kreativitas tak acuh. Banyak orang malah berfikir dalam genre yang seragam. Menjadi makhluk anonim dengan segala tanda kebekuan berfikir. Persisnya seperti tak ada masalah lain lagi di dunia ini.

***

Seandainya pun harus diberikan kritik terhadap organisasi pemuda terbesar ini adalah belum concernnya mereka pada keadaan pemuda marginal. Misalnya, teringat pada generasi muda  yang menjadi pengangguran  kampung miskin, bagian dari jati diri KNPI. Mereka menjadi asing dalam rumusan program kerja dan seolah  a-historis, dan secara praktis menjadi kurang relevan. Dan karena itu,  KNPI tak terlalu terpanggil untuk melakukan sesuatu yang sifatnya kultural.

Baca Juga  Sekkot Ambon Sambut Kunker FKUB Kota Depok

Tidak sukar menjadi sebab. Disini yang harus kita benahi bukan hanya program kerja. Sebab kekaburan rumusan kerja hanyalah akibat. Yang harus kita sentuh adalah pola pikir, wawasan dan  mindset dalam melihat  masa depan. Padahal keterbelakangan yang teoritis kita takuti telah mengendap lama, lantaran dirasionalisir oleh persepsi dan gaya hidup kita. Bergumul dengan “mentalitas menerabas” dan jalan pintas. Akibatnya, kita tak berani mendidik pemuda untuk berlatih berfikir sebagai manusia alternatif. Kekalahan itu berulang-ulang terus, dari hari ke hari dan dari itu ke itu juga tanpa bisa kita atasi. Logika dengan contoh sederhana ini merupakan sumber berfikir kita untuk membangun apresiasi yang lebih kultural.

Intinya sebagai sebuah entitas sosial, pemuda  harus berani bersikap. Dikaji dalam perspektif apa pun, KNPI adalah  kawah candradimuka, dan tetap dalam fungsinya menjaga kebersamaan dalam keragaman. Tengoklah, bahwa pemuda angkatan sekarang sedang mencari platform  sosial ekonomi yang lebih prospektif. Sebuah harapan untuk dipercayai dan sebuah pegangan kultur yang berkeadilan. Hegemoni politik sudah amat melelahkan. Mereka ingin bebas dari tabiat lama yang meng-upgrade diri sebagai etalase atau beringsut dari masa silam yang salah. Dan kebesaran KNPI itu hanya bisa dibangun; bila pemuda dapat membebaskan diri dari rasa takut yang membelenggu. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.