Ramai-ramai kritisi kekerasan terhadap pers

oleh -46 views

@Porostimur.com | Ambon : Ketua AJI Kota Ambon, Abdul Karim Angkotasan dan wartawan Rakyat Maluku, Sam Usman Hatuina, merupakan 2 insan pers yang mengalami kekerasan saat meliput kegiatan pertemuan salah satu calon kepala daerah (calkada) di Warung Kopi Lela, Kamis (29/3).

Keduanya bahkan telah menyerahkan kasus kekerasan yang dialaminya itu kepada kuasa hukum.

Dimana, ada 5 pengacara yang telah disiapkan AJI Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, untuk menangani perkara yang terjadi.

Kasus kekerasan berupa intimidasi serta pemukulan terhadap jurnalis di Warung Kopi Lela, Kamis (29/3) yang kini ditangani pihak Kepolisian Daerah (Polda) Maluku, diminta berlangsung secara transparan dan independen.

Seperti yang diungkapkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Maluku.

Sekretaris AJI Ambon, Nurdin Tubaka, dengan tegas meminta pihak kepolisian tidak main-main dalam memproses kasus ini.

Minimal dalam kurun waktu 14 hari kedepan, akunya, proses lanjutan kasus ini sudah bisa dilanjutkan dan dilimpahkan ke tahapan berikutnya.

Menurutnya, bagi organisasi jurnalis sikap arogansi salah satu calkada dan tindakan premanisme sejumlah orang dalam peristiwa kemarin, merupakan preseden buruk yang harus disikapi sesuai prosedur hukum berlaku.

Baca Juga  Menang Adu Penalti atas Kroasia, Prancis ke Semifinal UEFA Nations League

Karena tindakan itu, selain telah mengekang kebebasan pers dalam menjalankan tugas jurnalisnya, juga menginjak-injak harkat dan martabat demokrasi.

”AJI Kota Ambon minta Polda Maluku, agar proses hukum atas insiden kekerasan di Warung Kopi Lela, Kamis pekan lalu, dapat diseriusi dan transparan. Langkah ini diminta AJI sebagai upaya dalam menjaga kredibilitas aparat penegak hukum di mata publik, sekaligus melindungi marwah hukum sebagai Panglima Tertinggi di Negara ini,” ujarnya.

Dengan adanya insiden ini, jelasnya, sangat menghancurkan ekspektasi seluruh insan pers atas kebebasan.

”Betapa tidak, di saat upaya kemerdekaan pers terus dikampanyekan, namun pada titik yang lain kekerasan terus dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Untuk itu, pihak kepolisian harus benar-benar menegakan supremasi hukum atas tindakan pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalis,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Divisi Advokasi dan Humas IJTI Pengda Maluku, Muhammad Jaya Barends, menyatakan pihak kepolisian harus serius dan berkomitmen untuk menuntaskan kasus hukum yang sudah berjalan.

Menunaikan tugas profesinya, akunya, wartawan dilindungi hukum, yang secara eksplisit tertulis dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan PERS.

Baca Juga  Jaksa Agung AS Sebut Demonstran Pro-Palestina sebagai Teroris

Sementara, jelasnya, intimidasi disertai kekerasan yang diduga dilakukan Calon Kepala Daerah Maluku bersama tim suksesnya melanggar Pasal 18 ayat (1).

Namun demikian, wartawan Harian Rakyat Maluku Sam Hatuina, tegasnya, saat menjalankan tugas profesi sesuai haknya berdasarkan Pasal 4 ayat (3), yakni untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Menurutnya, pertemuan di salah satu rumah kopi di Kota Ambon, Kamis kemarin, itu tidak hanya tim sukses dan calon kepala daerah, namun juga melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang justru bertentangan dengan Pasal 71 (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

”Pertemuannya itu kan di ruang publik dan sangat bertentangan dengan UU, sebagai seorang wartawan memiliki hak meliput yang sangat dijamin, tapi kenapa Sam diintimidasi saat menjalankan hak profesinya disertai kekerasan terhadap Abdul Karim Angkotasan, Ketua AJi Kota Ambon. Harus sebagai pejabat publik mengetahui tugas seorang wartawan,” terangnya.

Baca Juga  Jelang Lebaran 2025, Pemudik Padati Pelabuhan Yos Soedarso Ambon

Apa yang dialami Angkotasan dan Hatuina ini, terangnya, telah mencedarai semangat kebebasan pers dan membunuh konsolidasi demokrasi.

Pernyataan kedua lembaga jurnalis ini juga didukung Juru Bicara Serikat Kerja Lawan Intimidasi (SK LELA), Bachtiar Heluth.

Menurutnya, tindakan kekerasan berupa apapun yang dilakukan terhadap jurnalis harus ditindak sesuai hukum yang berlaku, termasuk membijaki UU Pers yang merupakan lex specialis.

”Ini permasalahan khusus dan lebih spesifik, sehingga kasus kekerasan juga harus dibijaki dengan UU Nomor 40 Tahun 2019 tentang pers. Kami sangat mengapresiasi pihak kepolisian yang serius menangani kasus tindak kekerasan jurnalis ini,” jelasnya.

Pengungkapan kasus kekerasan dan penanganannya ini, akunya, seutuhnya di luar dari interest politik.

Dimana, pihaknya tidak menginginkan adanya pihak lain masuk mencampuri serta mengotori perjuangan suci yang sedang dilakukan atas kebebasan pers.

”Kami tegaskan bahwa kasus ini murni kekerasan terhadap jurnalis. Kami tidak ingin ada spekulasi liar. Prinsipnya, perjuangan ini jauh dari kepentingan politik pihak manapun,” pungkasnya.(keket)