Sebagai seorang jenderal, mestinya Prabowo mengerti betul masalah ini karena terkait dengan teritori, kedaulatan, dan keamanan negara. Setelah menandatangani kesepakatan itu saat Prabowo berkunjung ke sana (8-10 November), Tiongkok menyatakan senang Prabowo akan melanjutkan program pembangunan Mulyono. Secara implisit, pernyataan Tiongkok ini bersentuhan dengan isu IKN. Dus, Prabowo menyatakan akan membangun IKN dalam waktu empat tahun sangat mungkin terkait dengan kesediaan oligarki dan Tiongkok menggelontorkan dana untuk IKN sebagai hasil kesepakatan dengan Mulyono.
Tiongkok juga akan membantu program makan bergizin gratis Prabowo. Bagaimanapun, dana yang dikeluarkan oligarki dan Tiongkok tidak seberapa dibandingkan keuntungan yang mereka peroleh dari proyek PIK dan Laut Natuna Utara. Sangat mungkin, AS juga akan menekan pemerintahan Prabowo untuk membatalkan kesepakatan pengelolaan Laut Natuna Utara dengan Tiongkok sebagaimana dilakukan Filipina. Memang berdasarkan hukum maritim internasional (UNCLOS), klaim Tiongkok atas pulau-pulau di Laut China Selatan berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine dash line) tidak berdasar.
Yang saya tulis ini baru sebagian dari legacy Mulyono yang pasti menghambat program pembangunan Prabowo. Prabowo adalah Sisyphus dan batu besar adalah legacy Mulyono. Melihat kuat dan luasnya jejaring Mulyono di pemerintahan Prabowo dan kecenderungan Prabowo untuk menerima semua yang didesakkan Mulyono, saya tidak percaya Prabowo mampu mengantarkan negara ini ke gerbang Indonesia Emas. Seperti Sisyphus, pekerjaan pemerintahan Prabowo akan berakhir sia-sia. Ibarat ironi situasional, terjadi perbedaan mencolok antara apa yang diharapkan terjadi dan apa yang sesungguhnya terjadi.