Oleh: Mohammad Aliman Shahmi, Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
DALAM dunia politik lokal di Indonesia, kedekatan seorang calon kepala daerah dengan pemerintah pusat sering kali dipandang sebagai aset besar.
Calon yang memiliki hubungan erat dengan pusat kekuasaan, atau yang mampu memproyeksikan kedekatan tersebut, sering dianggap memiliki akses lebih baik ke sumber daya dan dukungan infrastruktur yang hanya bisa diperoleh melalui jalur-jalur resmi pusat.
Dalam lanskap politik yang terus berkembang, strategi ini memberikan keuntungan elektoral yang cukup signifikan.
Pemilih, terutama di wilayah yang ekonominya masih bergantung pada subsidi dan bantuan pemerintah pusat, merasa bahwa memilih calon yang dekat dengan pusat bisa mendatangkan kemakmuran lebih cepat.
Namun, apakah benar demikian?
Fenomena ini bukan sekadar taktik kampanye; ia menggambarkan pola hubungan antara pusat dan daerah yang sudah berlangsung lama.
Di banyak daerah, calon kepala daerah lebih sering berbicara tentang relasi mereka dengan pemerintah pusat daripada memaparkan program kerja konkret yang dirancang untuk memecahkan masalah lokal.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang kualitas demokrasi kita: Apakah benar calon kepala daerah harus mengedepankan relasi pusat daripada solusi nyata bagi daerahnya?