Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum
Bahwa deskripsi nyata pilpres 2024 melulu ditemui penyimpangan yang nampak telanjang dari pra sampai dengan proses pemilu pilpres 2024 untuk mendapatkan idealnya bakal pemimpin bangsa, maka layak utamanya masyarakat hukum turut andil berkarya melalui opini hukum (amicus curiae) terhadap bakal isi putusan MK dalam perkara SHPU atau representatif sebagai kiprah sumbangsih menuju pencapaian teori tujuan bernegara yaitu demi mensejahterakan rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial, sesuai alinea ke-4 Pembukaan UUD 45.
Dan pelanggaran yang telanjang dimata publik, ironisnya dilakukan pejabat publik dan atau aparatur negara, dan tragisnya dimata publik, pola penyimpangan hukum, memiliki mata rantai (sistimatik) dengan tanda benang merah konspirasi yang melibatkan KPU selaku penyelenggara Pemilu dan Bawaslu selaku pengawas pemilu, sehingga kontraproduktif dari keharusan wajib menyelenggarakan pemilu secara jujur dan adil, karena fakta dan data notoire feiten, publik banyak menyaksikan KPU dan Bawaslu bergeming terhadap eksistensi kecurangan yang ada, hanya soal sepele, atau pelanggaran jenis sumir yang Bawaslu proses.
Serta hasil tindakan putusan hukumnya pun jauh dari kepastian hukum, selain selebihnya yang ada terbukti banyak menolak laporan serta memutus menolak materi laporan pengaduan, sehingga tindakan hukum KPU dan Bawaslu semakin tidak berkepastian hukum, lebih banyak melakukan pembiaran terhadap perilaku kecurangan.