Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim
Suatu sore saya membaca sebuah obrolan di sebuah group WA, ada pertanyaan apakah tidak ada rencana group ini mengadakan buka bersama ? mungkin sang penanya merasa group ini kering tak ada aktivitas, dan buka bersama dianggap sebagai sebuah aktivitas, lalu mendapat jawaban dari salah seorang anggota group mohon maaf masih belum bisa, karena saya masih dalam kondisi sakit dan terbaring.
Mungkin bersama dianggap sebagai sebuah aktivitas yang relegius dan menyenangkan. Sebuah dialog ringan tapi itulah menunjukkan watak dan karakter masyarakat kita secara umum. Sebuah suasana yang menggambarkan bahwa apa yang dilakukan kadang juga tidak membangun perspektif yang memahami keadaan orang lain.
Dalam perspektif yang lebih besar saya akan coba tuliskan suasana tersebut yang pada akhirnya terjadi ketimpangan dan mendorong untuk memaksakan diri mengikuti arus yang ada. Memaksakan diri berbuat sesuatu itulah yang berakibat terjadinya penyimpangan perilaku koruptif. Merampas perasaan dan hak orang lain untuk bahagia demi memuaskan diri. Semua lapisan masyarakat berpotensi melakukan itu.
Indonesia sering digambarkan sebagai bangsa religius. Rumah ibadah berdiri megah di hampir setiap sudut kota. Dari masjid, gereja, pura, hingga vihara, semua ramai oleh umat yang menjalankan ibadah. Survei Pew Research Center (2023) bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara paling religius nomor satu di Asia Tenggara. Namun, ada ironi besar yang terus menghantui: meski masyarakatnya taat beribadah, Indonesia justru menduduki peringkat ke-6 sebagai negara paling korup di Asia Tenggara, menurut Transparency International (2023).