“Desa-desa yang dihajar banjir itu merupakan desa yang dikepung oleh industri tambang nikel, dua di antaranya PT Weda Bay Nickel dan kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), raksasa pengolahan nikel yang beroperasi sejak 2018,” ujar Simpul Jatam Malut dalam Catatan Tahun 2024 dan Proyeksi 2025, yang dirilis 20 Desember 2024.
Selain di Teluk Weda, kondisi serupa terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Dua kali tanggul milik raksasa tambang di pulau itu diduga jebol, mengakibatkan air disertai lumpur pekat menyapu pemukiman warga.
Bencana ekologis itu membuat warga panik hingga pada akhirnya terpaksa mengungsi ke rumah tetangga, yang berada di dataran tinggi. Di perkampungan yang berada di dataran rendah, ketinggian air mencapai satu meter.
Selain itu, pendudukan hutan di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah oleh korporasi nikel telah membuat ruang hidup suku Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa terhimpit. O’Hongana Manyawa adalah suku yang dalam corak kehidupan mereka masih menerapkan cara hidup nomaden dan sudah hidup beratus-ratus tahun di dalam hutan belantara Pulau Halmahera. Dengan demikian, bagi mereka hutan merupakan rumah: tempat mereka tinggal, mencari makan, berburu hewan, tempat tumbuh, sampai beranak-pinak.









