Kegagalan Anies “Nyagub”, Dilema PDI-P, dan Tantangan Demokratisasi

oleh -39 views

Oleh: Andang Subaharianto, Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

ADA dua peristiwa politik penting menjelang pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.

Pertama, kegagalan DPR mengesahkan revisi UU Pilkada yang isinya menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, kegagalan Anies Baswedan jadi calon gubernur di Jakarta.

Dua peristiwa itu menandai realitas politik mutakhir. Itulah capaian demokratisasi kita. Perjuangan pemajuan demokrasi menemui tantangan. Dan, saya kira, dialektikanya tak akan berhenti. Dialektika itu bekerja membentuk realitas politik berikutnya.

Menghembuskan angin segar

Menjelang pendaftaran Pilkada 2024, MK membuat dua putusan yang menghembuskan angin segar buat demokratisasi di Indonesia. Putusan dibuat atas gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada.

Baca Juga  Kapolda Ingatkan Pamwal Cakada Maluku Jaga Kehormatan Polri

Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Ambang batas persyaratan pencalonan kepala daerah oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol diselaraskan dengan persentase dukungan calon perseorangan di setiap daerah. Batasan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah pemilu anggota DPRD dibatalkan.

Putusan tersebut tentu saja menguntungkan parpol. Tak hanya parpol peserta Pemilu 2024 nonparlemen, tapi juga parpol peraih kursi di DPRD, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

No More Posts Available.

No more pages to load.