Oleh: Ahmadie Thaha, Kolumnis
Aroma demokrasi tiba-tiba terasa seperti wangi kopi instan —praktis tapi penuh kejutan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah sejarah dengan mengabulkan gugatan penghapusan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ini sekaligus kado tahun baru 2025 bagi bangsa Indonesia.
Padahal sebelumnya, mereka menolak gugatan serupa sebanyak 33 kali! Sekarang ini, alasan yang disampaikan cukup sederhana tapi heroik: demi menghindari kemunduran demokrasi akibat dominasi partai politik besar yang membatasi peluang warga negara untuk maju sebagai calon presiden.
Publik pun memberikan tepuk tangan meriah, kembang api dinyalakan. Tapi diam-diam muncul pertanyaan: siapa sebenarnya otak di balik perubahan sikap ini? Pertanyaan ini sepertinya tak penting —bukankah ketentuan threshold itu sudah dihapus? Namun, dari jawaban atas pertanyaan ini, semoga kita bisa memahami arah politik ke depan.
Keputusan ini tentu tak lepas dari peran hakim MK. Ketua MK saat ini adalah Suhartoyo, didampingi oleh delapan hakim lainnya Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Usman Anwar, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Asrul Sani.
Dengan kapasitas intelektual dan otoritas mereka, para hakim inilah otak hukum di balik putusan monumental tersebut. Namun, kita tahu, hukum tidak pernah benar-benar steril dari politik. Ada tangan-tangan tak terlihat yang memengaruhi keputusan besar seperti ini. Dan di sinilah percaturan politik mulai terbuka.