Kekalahan partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar dari partai baru memunculkan trauma politik yang mendasari ide pembatasan pencalonan presiden. Mereka pun kemudian mendorong perubahan undang-undang pemilu melalui pembahasan yang panjang di DPR.
Ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hendak disahkan, fraksi-fraksi di DPR terpecah menjadi dua kubu. Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan Hanura menolak PT 20%.
Di sisi lain, PDIP, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, dan PKB mendukung. PDIP berargumen bahwa threshold diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, banyak yang menganggap aturan ini justru mempersempit demokrasi.
Kini, keputusan MK menghapus PT 20% dianggap sebagai kemenangan demokrasi. Namun, pertanyaannya: apakah ini benar-benar demi rakyat, atau demi kelancaran agenda politik tertentu? Kita menunggu pembahasan selanjutnya di DPR.
Yang pasti, penghapusan ambang batas ini menunjukkan bahwa hukum dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa menonton, sambil sesekali tersenyum getir pada ironi demokrasi yang terjadi di negeri ini.
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3 Januari 2025