Oleh: Muhamad Rosit, Dosen Komunikasi Politik FIKOM Universitas Pancasila
POLEMIK ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) akhirnya menuai titik kepastian pascaputusan Mahkamah Konstitusi terbaru.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden di Indonesia sebelumnya puluhan kali diajukan sejumlah pihak, tapi selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasannya karena faktor stabilitas politik, prinsip keadilan dan keseimbangan serta legitimasi demokrasi.
Seperti dikutip Kompas, MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Enika Maya Oktavia, dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Selain itu, MK juga menerima permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina (perkara nomor 87/PUU-XXII/2024, Netgrit dan Titi Anggraini (perkara nomor 101/PUU-XXII/2024), dan Gugum Ridho Putra (perkara nomor 129/PUU-XXI/2023).
MK menyatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden di dalam Pasal 222 tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”