Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
Di satu sisi, saya melihat para kelas menengah mapan melakukan ‘takjil war.” Mereka membeli apa saja, bahkan jauh melebihi apa yang bisa sesakkan ke perut mereka.
Tidak itu saja. Mereka yang tidak puasa ikut-ikutan memborong segala macam makanan. Terjadilah ‘Takjil War.”
Dan, kelas menengah beserta media-medianya membingkai ini semua sebagai bentuk ‘kerukunan antar umat beragama.’ Hanya karena mereka bisa memborong, dan makan sampai tembolok mereka penuh, dan dilakukan tanpa sekat identitas agama, maka jadilah “kerukunan antar umat beragama.”
Sementara di sisi lain, saya melihat kelas bawah dan menengah bawah, golongan kelas pariah yang bekerja sebagai pengantar makanan, buruh bangunan, tukang angkut sampah, bahkan penjual makanan Takjil, juga berburu ikut berburu makanan. Mereka berburu Takjil gratis. Inilah golongan yang kemarin memilih berdasarkan Bansos dan makan siang gratis.
Hari-hari ini, mereka mencari Takjil Gratis. Itulah Takjil War mereka, yakni berjuang sebagai kaum dhuafa untuk bisa makan.
Saya hidup berdekatan dengan kampung. Saya bicara dengan banyak orang dari kelas pariah dhuafa ini. Saya bisa merasakan bahwa hidup mereka sekarang ini benar-benar sulit. Beras tidak terjangkau. Apalagi lauk pauk.