Oleh: Khairuz Salampessy, Pegiat lingkungan
Tak setiap daratan dilahirkan untuk bersuara. Sebagian memilih menjadi sunyi yang merayap dalam hutan-hutan tua, membisik di celah karang, lalu menetap dalam dada orang-orang yang memilih tinggal.
Amarsekaru, di pulau Manawoku. Bukan hanya sepenggal tanah di bumi Ita Wotu Nusa. Lebih dari itu. Ia adalah suara di mana yang paling ramai adalah keheningan.
Negeri ini tidak dibentuk secepat ombak melaju, melainkan oleh simpul-simpul waktu, ingatan, dan doa yang diwariskan turun-temurun melalui cinta dan cerita.
Ia bukan jantung, tapi denyut. Bukan layar, tapi simpul tali yang mengikat perahu agar tak karam.
Segala tentang Amarsekaru adalah bentuk dari diam yang matang. Rumah-rumah yang dibangun lebih dekat ke tanah ketimbang ke langit. Langkah-langkah yang menyentuh bumi seperti sedang meminta izin
Dan tatapan yang mengandung jarak bukan karena angkuh, tapi karena tahu dunia selalu punya rahasia.
Di tengah sunyi Manawoku, terbentang Danau Sole. Permukaan airnya nyaris tak beriak, seolah sedang menyimpan kisah yang tak pernah boleh dipecah.
Di sekelilingnya, hutan menyusun doa yang tak lagi dikenal lidah. Airnya tidak hanya bening, tapi dalam.
Tak sekadar memantulkan cahaya, melainkan juga menyimpan bayang leluhur yang masih menjaga dari dasar.