Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Di tengah suasana politik yang penuh bara dan luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, Anies memilih jalan yang lembut: mengirim bunga, bukan sindiran. Ia tak memupuk dendam, tak menumbuhkan sinisme. Ia hanya menanam makna — dalam diam yang berwibawa, dalam keanggunan yang menenangkan.
Semua orang tahu bagaimana hubungan masa lalu antara Anies dan Joko Widodo terbentuk. Dingin, tegang, bahkan getir. Kasus Formula E menjadi bab yang menelanjangi betapa hukum bisa dipaksa tunduk pada selera kekuasaan. Belasan kali gelar perkara dilakukan, seolah keadilan dapat dipanggul oleh agenda politik. Namun semua tuduhan itu lenyap tanpa bekas, meninggalkan satu pelajaran: yang berdiri di atas kebenaran tak perlu berteriak.
Dan kini, ketika badai telah reda, Anies justru mengirim bunga. Ungu — warna yang melambangkan kebijaksanaan, ketenangan, dan spiritualitas. Ia tidak menyampaikan kritik, melainkan penghormatan. Ia tidak menengok ke masa lalu, tapi menatap masa depan. Sebuah gestur yang sederhana, tapi menggetarkan, karena lahir dari kematangan jiwa.
Negarawan sejati tidak diukur dari seberapa keras ia bersuara, melainkan dari seberapa lembut ia menata luka. Anies tahu, kekuasaan datang dan pergi, tapi keluhuran budi adalah warisan yang tinggal. Ia menolak terjebak dalam lingkaran dendam, memilih diam yang elegan ketimbang perdebatan yang tak berujung. Dalam keteduhannya, ia menegakkan martabat.









