Oleh: Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik.
PENGUNDURAN diri Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar memang agak sedikit di luar dugaan.
Dikatakan demikian karena sejatinya, sebagaimana asumsi publik, termasuk saya, pergantian beliau sebenarnya hanya menunggu waktu.
Sehingga santer diasumsikan bahwa pergantian tersebut akan terjadi secara prosedural di saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada Desember 2024 mendatang.
Namun, dikatakan “sedikit” di luar dugaan alias tidak terlalu mengagetkan lantaran secara fundamental, apa yang terjadi di tubuh Partai Golkar di penghujung kekuasaan pemerintahan yang mereka dukung bukanlah hal baru.
Partai Beringin memang biasanya “bergoyang” di saat itu datang. Secara umum, hal itu tidak hanya terjadi pada Partai Golkar sebenarnya.
Partai-partai politik yang selalu mencari cara untuk menjadi bagian dari kekuasaan akan berpeluang mengalami goncangan, atau tepatnya goyangan, di penghujung kekuasaan yang mereka topang atau di awal kekuasaan baru yang mereka dukung atau tidak mereka dukung.
Jadi apa yang terjadi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini, di mana Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bersitegang dengan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Tsaquf layak dipandang dalam kacamata yang sama.