Kehidupan Perempuan Tobelo

oleh -42 views

Oleh: Muhammmad Diadi, Penulis, Pelaku Budaya Galela

Perempuan dalam pandangan orang Tobelo sama halnya dengan orang Galela, di mana perempuan dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri) sedangkan laki-laki dianggap sebagai pemegang unsur nama atau harga diri (o gurumini). Kedua unsur tersebut, o gikiri dan o gurumini, bersama-sama unsur tubuh (o rohe) merupakan satu kesatuan unsur yang menandai keberadaan manusia.

Alasan yang dipakai orang Tobelo melihat dua unsur ini adalah bahwa perempuan memiliki rahim sebagai wadah, atau tempat persemaian bibit kehidupan dari laki-laki, serta air susu yang dapat menghidupi, dianggap sebagai pemberi sekaligus menyebar kehidupan.

Perempuan juga dianggap sebagai lambang kesuburan. Sedangkan laki-laki yang memproduksi sperma, atau zat hidup, dianggap sebagai pemilik, dan penguasa kehidupan ( Visser 1994:117-118).

Perempuan Tobelo merupakan tulang punggung keluarga. Jika para suami pergi mencari hasil hutan, maka perempuanlah yang harus menyediakan sumber pangan bagi keluarganya. Jamaknya mereka akan berkebun dan mencari sayur di hutan. Hasil kebun akan mereka jual kepada masyarakat pesisir yang cukup jauh dari desa mereka, dan sebagian disimpan untuk kebutuhan sehari-hari mengingat lamanya waktu perjalanan para suami mereka untuk berburu di hutan (Inkuiri Nasional Komnas HAM;2017).

Perempuan-perempuan Tobelo rata-rata lebih kecil dari laki-laki Tobelo. Akan tetapi mereka sama-sama kuat fisiknya. Perempuan Tobelo sering menggunakan sarung sebatas kaki/betis. Pada berbagai upacara adat perempuan memakai sarung lebih panjang dari pada laki-laki sebatas mata kaki dan kebaya berwarna putih sebagai warna kegemaran mereka (Amal 2012:13).

Mereka perempuan Tobelo sangat pandai dalam menggunakan alat musik tradisional. Salah satunya adalah fiol atau masyarakat Tobelo menyebutnya arababu.

Ada sebuah cerita bahwa pernah Sultan Ternate berkunjung keTobelo, tanpa diacarakan, datang seorang perempuan muda menyambut sultan dengan memainkan arababu. Ia naik ke atas perahu dan memainkannya. Sultan dan para penjemput kaget, tetapi perempuan muda itu terus bernyanyi sehingga semua penjemput pun turut menyanyikan lagu tersebut (Amal 2012:112).

Perempuan-perempuan tobelo sangat taat kepada suami serta kedua orang tunya. Mereka rela mengukuti suaminya ke mana saja jika diizinkan. Mereka juga sangat mencintai anak-anaknya, merawatnya dengan kasih sayang walaupun nada mereka agak kasar ketika memanggil anak-anak mereka.

Pada tahun 2017 ketika Garasi Genta berkunjung ke Galela tepatnya dirumah Almarhum M. Adnan Amal beliau sedikit bercerita tentang keberanian perempuan tobelo-galela beliau mengatakan:
“Pada abad ke 18-19 ketika Sultan Nuku Ia membangun armada Kora-kora di daerah sekitar Pulau Seram dan Irian Jaya dengan mendirikan basis pertahanan di Seram Timur pada tahun 1781. Perempuan dan anak-anak dari Suku Tobelo-Galela ikut serta di atas perahu kora-kora yang dibawa suaminya hingga bertahun-tahun. Mereka rela mati untuk ikut suami mereka dan Sultan Nuku”.

Bahkan dalam pembuatan perahu tradisional (Tobelo; ngotiri) masyarakat Tobelo juga masih menggunakan helai rambut perempuan seperti yang dikatakan oleh Arkelog maluku, Lucas Wattimena “Pengetahuan rakyat Halmahera Utara tentang perahu mencerminkan personifikasi dari seorang gadis (Ambon 1/8/2017)

Ia juga mengatakan hasil penelitiannya mengenai etnoarkeologi tradisi pembuatan perahu tradisional di Halmahera Utara (Tobelo) pada Maret 2017, menemukan bahwa peran gender dalam kontribusi rekontruksi kebudayaan masa lampau masih berlangsung di sana hingga sekarang.

Lingkungan menjadi bagian dari sistem sosial budaya pembuatan perahu kayu yang dibuat dari hasil hutan dan besi sebagai alat pengerjaan. Pengukuran sebuah perahu pun masih menggunakan rambut dari perempuan.

Perempuan Tobelo sangat di hormati di kalangan sukunya. Itu bisa dilihat ketika terjadi pernikahan baik sesama suku atau dengan suku lain. Dalam pernikahan tersebut ada sebuah tradisi yang disebut “cuci kaki”.

Tradisi cuci kaki memiliki makna filosofis pembersihan/penyucian. Tradisi cuci kaki pada acara perkawinan hanya dilakukan untuk mempelai wanita karena mempelai wanita (istri) telah keluar dari rumah orang tua untuk mengikuti mempelai pria (suami). Tradisi ini dilaukan dengan harapan perempuan yang sudah masuk dalam lingkar keluarga laki-laki memiliki hati yang bersih untuk memulai rumah tangga mereka di lingkungan keluarga laki-laki.

Untuk mencuci kaki perempuan dalam tradisi ini, hanya boleh dilakukan oleh anak gadis yang belum balik atau yang masih perawan. Sedangkan anak laki-laki tidak diperbolehkan, dengan didampingi orang tua yang bertugas memantra-mantra air dalam gelas lalu kemudian menyerahkannya kepada anak gadis untuk menyiram kaki perempuan tersebut. Tradisi ini sampai sekarang masih terlihat saat acara pernikahan suku Tobelo dan Galela (WorldVision 2005:67).

Sekian ulasan tentang kehidupan perempuan tobelo di atas baik yang saya kutip dari berbagai sumber buku dan Internet semoga menambah khanzana pengetahuan serta bermanfaat terhadap pembaca untuk lebih mengenal sejarah Maluku Utara lebih khususnya Tobelo.

Meskipun ulasan di atas tidak sempurna dan masih banyak kekurangan yang perlu saya perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan saya tentang disiplin ilmu sejarah serta referensi yang didapat. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat saya harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. (*)

Mamuya, 30 April 2025

Simak berita dan artikel porostimur.com lainnya di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.