Oleh: Khairuz Salampessy, Pegiat lingkungan
Di Maluku Tengah, suara rakyat tidak meledak seperti di kota besar—ia mengalir pelan, masuk lewat celah angin dari pulau ke pulau, dari lembah ke kampung. Suara yang tidak disiarkan, tapi dirasakan. Suara yang tak menuntut sorotan, tapi menggantung di udara: menunggu, menanti, mempercayai.
Maluku Tengah bukan hanya satu wilayah administratif. Ia adalah tubuh yang terdiri dari banyak urat nadi: Salahutu yang sibuk, Leihitu yang bersahaja, Haruku yang penuh hikayat, Saparua yang menggurat sejarah, Banda yang menyimpan denyut kenangan, Teluk Elpaputih yang sunyi dan dalam, hingga Seram Selatan dan Utara yang luas dan kokoh. Semua menyatu dalam satu nama: Pamahanunusa. Satu tubuh yang lama bergerak pelan, bukan karena malas, tapi karena terlalu sering ditinggalkan.
Buruh angkut pelabuhan Amahai dan Tulehu memikul lebih dari beban fisik; mereka memanggul harapan yang tak pernah sempat dituliskan. Dibayar per muatan, bekerja tanpa perlindungan, namun tetap datang tiap pagi karena hidup tak menunggu sistem menjadi adil.
Petani di kobisonta menanam bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi karena mereka percaya tanah ini masih bisa memberi. Yang mereka takutkan bukan gagal panen, tapi gagal dihargai.