Namun, realitasnya tentu tidaklah demikian. Hari ini, hanya orang yang bermimpi di siang bolong saja yang masih berani mengatakan bahwa pemilihan adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Hanya faktanya, suaranya memang dari rakyat, dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan organisasi politik di bawah supervisi pemerintahan, dan diperuntukkan entah untuk siapa setelah pemilihan, hanya Tuhan dan rumput yang bergoyang saja yang mengetahuinya.
Jika idealitas itu terjadi selama ini, maka Indonesia tentu sudah maju. Sesederhana itu saja logikanya.
Begitulah adanya. Boleh jadi setelah proses tersebut, pasta gigi sebagai analogi dari Noam Chomsky di atas, akan jauh lebih terasa manfaatnya ketimbang pemimpin terpilih, karena memang peruntukannya sangat jelas, yakni agar gigi bersih dan sehat, bahkan mengkilat.
Sementara “pasta gigi berupa pemimpin terpilih”, boleh jadi berujung tragis yang membuat gigi dan lidah kita kelelahan dalam menghitung dosa-dosanya setelah menjabat, terlepas menjabatnya lima tahun atau sepuluh tahun.
Logika dan analogi yang sama juga berlaku bagi pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan di tingkat provinsi dan lokal.
Mungkin dinamikanya tidak terlalu progresif dibanding pemilihan di tingkat nasional. Apalagi di daerah-daerah yang jauh dari pengaruh pusat.