Oleh: Jannus TH Siahaan, Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM)
“The elections are run by the same industries that sell toothpaste on television”. (Noam Chomsky)
SECARA teknis, pemilihan memang tak ubahnya “gawean” industri yang menggunakan iklan sebagai instrumen untuk menarik pembeli.
Toh, memang para kandidat di dalam pemilihan berjuang untuk populer dulu, layaknya produk pasta gigi atau minuman dalam kemasan botol, sebelum bisa diterima publik (acceptable), lalu dicoblos (electable).
Di dalam proses mencapai populer itu, para kandidat memang menggunakan prinsip-prinsip humas dan periklanan, kerap disebut sebagai “political marketing”, yakni menjual “selling point”, menutup-nutupi kekurangan, melakukan “black campaign” terhadap produk saingan dari industri yang sama, dan menjanjikan segala hal yang kadang sulit diterima akal sehat, persis seperti iklan-iklan yang hiperbolik di ruang publik.
Oleh karena itu, pelan-pelan sejak 20 tahun ke belakang kita pun mulai melihat pemilihan di Indonesia adalah buah dari “industri politik”, yang membutuhkan investasi besar, strategi pemasaran mumpuni, dan tim humas dan periklanan yang handal.
Boleh jadi perbedaannya hanya ada pada tataran idealitas, bukan realitas. Idealnya, pemilihan adalah realisasi kedaulatan rakyat, yang dioperasionalisasikan secara demokratis, dengan konsep “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.