Jualan pasta giginya terkadang masih sangat konvensional, spanduk-spanduk dan billboard bertebaran sepanjang jalan di daerah.
Saat calon kepala daerahnya diminta wawancara oleh media, mereka malah minta waktu lama untuk mengonfirmasi, karena bingung mau menyampaikan apa.
Sangat kontras dengan foto mereka yang gagah dan berani di billboard dan spanduk yang bertebaran sampai ke semak belukar itu.
Pada daerah-daerah tertentu memang sedangkal itu realitasnya. Bukan strategi pemasaran yang diutamakan, tapi strategi “permodalan” untuk “vote buying”.
Membeli suara pemilih dengan beberapa lembaran ratusan ribu rupiah, untuk kemudian digandakan setelah terpilih, tentu dengan uang yang asalnya dari rakyat (pajak).
Logika investasi yang sangat sederhana, dengan mesin “penjualan” yang juga masih sangat konvensional.
Sehingga pertanyaannya kemudian adalah apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang dipilih berdasarkan keberhasilan mereka dalam membuat materi iklan yang bagus atau pemimpin terpilih berkat kemampuannya dalam menyogok pemilih “di depan”, lalu menipunya “di belakang?” Jawabannya “tak ada”.
Karena itulah, cara-cara demikian sepatutnya harus dilawan. Namun, mau melawan pakai apa?
Anak muda, terutama generasi Milenial dan Gen Z sangat mengandalkan indera post truth-nya, yang senang dengan kesan-kesan plastis yang dibangun sedemikian rupa, sehingga membuka peluang bagi calon pemimpin yang memiliki mesin iklan yang handal untuk memanipulasinya.