Oleh: Khairuz Salampessy, Pegiat lingkungan
Seram Utara tak pernah diam. Di antara rimba lebat dan desah ombak yang mencium pantai dengan sabar, dua nama kini menggema dalam nada pilu: Sawai dan Masihulang.
Dua desa yang pernah menjadi satu, dua nadi dari jantung yang sama. yang kini, terbelah oleh sesuatu yang lebih sunyi dari kemarahan: perasaan ditinggalkan, perasaan tak diakui.
Masihulang bukan orang lain. Ia bukan datang dari seberang laut. Ia lahir dari tubuh Sawai sendiri, dari akar-akar yang sama, dari jejak kaki leluhur yang melintasi tanah yang kini disengketakan. Namun waktu, seperti gelombang yang tak pernah tidur, membawa perubahan.
Dari petuanan, Masihulang tumbuh menjadi desa administratif—sebuah langkah yang sah, yang diambil oleh banyak dusun di negeri ini.
Tapi dalam pertumbuhan itu, ada ruang-ruang yang tak pernah sempat diisi: ruang untuk berdiskusi, untuk saling memahami, untuk menyepakati ulang batas bukan sekadar dengan garis, tapi dengan hati.
Dan ketika ruang itu dibiarkan kosong, curiga pun tumbuh. Lalu muncul perdebatan. Lalu terdengar bentakan. Dan akhirnya, pecahlah kekerasan.
Tidak ada yang benar-benar menang. Yang hancur bukan cuma bangunan, tapi rasa percaya yang dulu tumbuh tanpa syarat.