Segala Luka Kembali Menganga

oleh -74 views

Cerpen Karya: Krisnaldo Triguswinri

“Kita pernah bahagia,” ucap Dien Keumala. Ia bicara menunduk. Menatap gelas cokelat dan menjumputi meses dari atas donat. Ia sukar bersitatap. Menatap Rajendra dapat menggerogoti bagian paling emosional di tubuhnya. Melankolia.

Rajendra termenung. Ia hentikan ketukan-ketukan jarinya di atas meja. Dan, dengan wibawa seorang pria, ia gerakkan tangan, mengeratkan jari-jemari, lalu meletakkannya di pangkuan bagai tengah berdoa. Ia pandangi kecemasan Dien Keumala dan berkata, “Kita memang lama sekali pernah bahagia.”

Di kafe mencuat musik The Cure, Cut Here. Mendengarnya, apalagi dalam suasana kalut, dapat mendorong siapa pun membuat garis pada lengan nadi tangan kiri mereka, dan tak lupa menggambar gunting.

“Kamu pernah nangis dengan lagu ini,” ucap Rajendra. Berharap ucapannya mencairkan suasana. Tetapi sebaliknya. Perempuan itu mengerling. Melirik Rajendra sebentar, lalu menatap ritmis hujan pada sela jendela. Terus berulang tiga kali.

“Karena paksaan perjodohan?” tanyanya masygul.

Sebetulnya bukan perjodohan yang membuatnya kesal. Tetapi ingatan akan keluarga. Dien Keumala nyaris dijodohkan dengan seorang tentara. Tetapi ia menolak. Betapa mengerikan tentara di benaknya. Terpahat pula luka panjang yang menggores ulu hatinya. Sebab, Kakek dan ayahnya tewas di tangan mereka.

Kakek dan Ayah Dien Keumala adalah seorang ulama. Karena ketaatan dan keberpihakannya, mereka dianggap berbahaya, lalu dilenyapkan. Kakek dan ayahnya tewas dalam peristiwa serupa. Namun pada kurun waktu berbeda. Tujuh puluh satu tahun lalu, dan dua puluh delapan tahun yang lalu.

Keluarganyalah yang menikmati segala kemewahan pasca-Helsinki. Kemewahan hidup yang dibangun di atas puing-puing, jelaga dan darah. Membangun kedekatan dengan tentara dan menjadi pegawai pemerintah. Sebagai janda, ibunya kawin lagi dengan mantan kombatan. Itulah alasan ia berubah. Itu pulalah alasan setelah selesai kuliah ia enggan kembali ke Pidie.

Lha itu, soal skripsi,” tukas Rajendra sambil memandang sekeliling, lalu menunjuk orang-orang berkelompok duduk menghadap laptop.

Rajendra tak ingin membahas kelanjutan perjodohannya. Selain menjadi penyebab mereka pisah tiga tahun lalu. Hal itu akan mengundang memori Dien Keumala yang menyimpan jejak traumatik dengan kekerasan dan kehilangan.

Dulu sekali, di auditorium universitas, Rajendra pernah bertanya ihwal Dien Keumala berkuliah ke Magelang. Ia menjawab tak diterima di Gajah Mada. Baru setelah di Tidar ia sadar, terlalu banyak tentara di kota, dan ia sangat menyesal.

Baca Juga  Pagi ini Gunung Dukono Kembali Erupsi, Kolom Abu Capai 1000 Meter

Lain waktu, tatkala makan nasi godog di Kriyan, Rajendra menanyakan kiprah kemanusiaan tentara saat tsunami Aceh. Belum selesai bicara, Dien Keumala pergi begitu saja meninggalkannya sendirian.

“Kamu ngelemburi skripsiku, dan buat skripsimu selalu kesiangan, kan?” jelasnya tersenyum. Kini matanya teduh dan wajahnya sejuk. Ia cantik. Meskipun tanpa lip tint, eyeliner, dan maskara.

Dien Keumala ingat sewaktu Rajendra kerap menginap di kosnya. Sungguh lelaki itu tekun melemburi skripsinya. Menyingkapi seprai, dan mengompresi panasnya yang tinggi. Menggulungkan lengan kemeja, dan memasangkan hijab yang terlepas dari rambutnya. Kepadanya pula ia tanaki nasi, memunguti remahan roti, dan merebus Indomie kari.

Sebetulnya, ketika Rajendra menyambutnya dengan erat jabat tangan laiknya berpamitan, ia juga teringat tabiat kedatangan dengan riang peluk dan tanda mata. Di deret Pecinan seberang kafe ini, Rajendra pernah memberinya tanda mata dari lawatan papanya ke Lebanon: kain kaftan dan miniatur pohon cedar. Dien Keumala keriangan.

Mendadak memeluk Rajendra dari belakang.

“Meutia bilang, kamu kerja di galeri seni rupa di Jakarta?” tanya Rajendra sambil mengangkat gelas, menyesap kopi, lalu mendaratkannya ke tempat semula. “Kamu ingat Meutia, kan? Adik kelasku, teman Acehmu juga. Karena skrisimu itu aku diwisuda berbarengan dengannya. Aku juga kasihan padanya. Ia gagal nikah. Padahal sudah bertunangan.”

Dien Keumala celingukan. Ia berpura-pura mengibaskan tangan, dan mengendus entah pada aroma apa. Melalui ketangkasan seorang pengakal, ia tolehkan kepalanya ke bar, kemudian menunjukkan dengan cuping hidungnya.

“Bau kopinya nyengat banget, Ndra. Aku pening.” Ia bangkit, lalu berjalan ke luar. Sejenak kemudian, Rajendra menyusulnya.

Perempuan itu sebenarnya lupa, bahwa outdoor memang tempat favoritnya. Bau kopi yang nyengat hanyalah dalih. Yang membuatnya keluar ialah rasa salit. Rajendra duduk di sampingnya, membuka rokok, menarik filter, dan menjulurkannya pada Dien Keumala. Memantik korek, lalu menyulutkan api ke rokok yang terjepit di bibirnya.

“Kamu tadi tanya apa?” ujarnya terbata-bata. Dien Keumala gusar oleh karena di dalam tasnya bersemayam undangan pernikahan, dan cincin pertunangan, yang sengaja ia lepas melingkari jari manisnya. Undangan itulah yang menuntunnya tiba di Magelang, bertemu Rajendra.

Baca Juga  Remaja 16 Tahun Hilang di Gunung Gamalama Ternate, Tim SAR Lakukan Pencarian

“Aku tanya, kamu kerja di galeri di Jakarta?” ulang Rajendra.

“Museum, bukan galeri,” jawabnya datar.

“Kalau soal Meutia, kamu sudah dengar masalahnya?”

Dien Keumala menggeleng. Ia ingin sekali menyampaikan niat kedatangannya. Tetapi tak sampai. Persoalannya, yang keluar dari mulutnya justru hikayat pernikahan yang dulu sempat mereka bicarakan. Hal itulah yang menengarai keanehannya.

“Kamu ingat, Ndra, rencana pernikahan yang dulu kita bicarakan?” tanyanya mendongakkan kepala seperti menunggu jawaban dengan isyarat. “Kamu bilang akulah yang pantas mendesain sendiri semuanya. Dekorasi, gaun pengantin dan undangan.”

Rajendra mengangguk ringan.

“Kita akan berbahagia di hadapan semua orang, Ndra,” lanjutnya sambil menyibak rambut dan menyunggingkan senyum. “Kamu juga bilang aku akan terlihat cantik dengan gaun dan high heels.”

Tertawalah mereka bersama-sama.

***

Magelang begitu dingin. Angin semilir. Bau aspal yang tertinggal sehabis hujan menguapkan pelbagai ingatan di kepala. Dien Keumala selalu suka sehabis hujan. Meskipun ia lupa, bahwa dingin yang membuat jarinya mengkerut dan gerahamnya terkatup itu, dapat kambuhi asmanya, dan hanya ingat:

“Waktu berteduh di depan Gereja Beth-El sekitar alun-alun, Ndra. Kita melihat Bapak becak mengenakan caping dan mantel plastik. Ia tak menggigil, aku sebaliknya. Reyot bersandar di pundakmu. Aku menatapmu. Kamu merundukkan tengkuk. Bersama gemercik hujan kita berciuman.”

Rajendra tersipu. Kupu-kupu di perutnya menggelepar. Ia cegah sesuatu agar tak terbangun. Namun gagal. Ia silangkan kakinya dan membakar rokoknya.

“Aku kok tiba-tiba kangen rokok Aceh ya,” godanya seraya memutar-mutar rokok dengan jempol, telunjuk, dan jari tengah. “Baunya itu lho ngangeni.”

“Kalau aku kangen bau bacin muntahan. Apalagi, setelah gelas kesekian itu, kamu ambruk ke lantai,” balas Dien Keumala mengejek.

“Aku ya kangen bau keringatmu,” sambung Rajendra dengan suara pelan, napas pendek, seperti kesulitan menelan liur. “Juga bau tisu menguning yang menumpuk penuh di tong sampah.”

Dien Keumala bergidik. Ia tahu arah percakapan ini. Sebetulnya, ia ingin sekali menghabiskan malam bersama Rajendra. Paling tidak, memeluknya hingga pagi matang. Ia kangen Rajendra. Soal undangan pernikahan? Tak lagi penting baginya.

Demikianlah, ia ajak Rajendra berkunjung ke hotelnya seperti memintanya dulu menginap di kosannya.

Baca Juga  Pattimura Muda: Kisah Pencarian Firdaus, Pendaki yang Hilang di Gunung Binaiya

“Kamu nginep di mana to?” tanya Rajendra.

“Coba tebak,” tantang Dien Keumala menjulurkan leher ke arah Rajendra.

Wong edan. Mosok suruh nebak. Mana ya…Hotel Atria?”

“Salah, Rajendra. Dulu kamu suka jemput aku di pangkalan Damri di mana?” Ia pandangi lelaki di sampingnya itu dengan riang. Senyumnya terus mengembang.

“Oalah, Hotel Wisata. Ayo!” jawabnya grusa-grusu. Rajendra memang sering menjemputnya di sana. Biasanya sepulang libur semester dari Aceh, Dien Keumala turun di YIA, lalu menggunakan Damri ke Magelang.

Tatkala dikatakan ayo, terdengar teriakan dari badan jalan Pecinan. Dua orang berpasangan melambaikan tangan ke arah mereka. Dien Keumala kaget. Rajendra lebih kaget lagi. Mukanya cemas. Dengan lamban dan malas, ia balas lambaian tangan. Tak berselang lama, keduanya mendekat.

Rajendra tampak resah oleh kedatangan orang tuanya. Sungguh kebetulan yang merentankan. Ia perkenalkan keduanya kepada Dien Keumala. Mereka ramah. Memberi senyum dan yang diberi senyum membalas senyumannya. Bersalaman dan saling menyapa. Sementara itu, Rajendra terpaksa masuk ke dalam memesankan hidangan.

“Logatnya kok beda. Asli mana, Nduk?”

“Saya Aceh, Tante.”

“Walah, Aceh,” sahut Papa Rajendra sumringah. “Om lama di Pidie. Om hapal betul daerah itu.”

“Ngapain, Om di Pidie?”

“Om dinas di sana. Kira-kira, ya, dua puluh delapan tahun yang lalu. Waktu DOM itu lho….”

Dien Keumala tersentak. Betapa ia melemas. Bibirnya kelu, terlalu kaku untuk menggerakkan senyum. Bunga-bunga hatinya berguguran. Dan, segala luka kembali menganga.

“Hampir-hampir Om juga lahir di sana. Eyang Rajendra kan ikut numpas pemberontak Darul Islam.”

2024

Krisnaldo Triguswinri lahir 24 Oktober 1996. Menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Diponegoro. Bukunya yang telah terbit berjudul ‘Jazz untuk Nada’ (puisi, 2016), ‘Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta’ (esai, 2021), dan ‘Hari-Hari Berbagi Api: Gerakan Sosial, Wacana Alternatif dan Kritik Kapitalisme’ (esai, 2022).

sumber: detik.com

No More Posts Available.

No more pages to load.