Oleh: Ghalim Umabaihi, Peminat Kajian Media dan Jurnalisme
Era digital tak sepenuhnya membawa kemudahan dalam berkomunikasi. Sebab, media sosial yang menjadi medium populer dalam komunikasi era ini, tak dapat dengan baik digunakan semua warga. Meskipun media ini telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak kalangan.
Informasi itu, baik hasil produksi warganet maupun jurnalis yang terdistribusi lewat portal daring. Dan, warga kerap mengandalkan informasi-informasi itu sebagai panduan dalam membuat keputusan, tanpa memastikan kebenarannya.
Media memang, semenjak kehadirannya telah memiliki peran penting dalam membantu kelangsungan hidup masyarakat. Oleh sebab itu, pekerja atau pegiat media tidak cukup bertugas menyampaikan informasi. Tetapi, memastikan kejelasan informasi yang disampaikan, yakni sumber informasi yang jelas, dan telah melalui proses verifikasi yang ketat.
Prinsip itu terkandung dalam kerja-kerja jurnalisme dan menjadi acuan kualitas informasi yang baik—diterima masyarakat.
Prinsip yang sebagaimana kewajiban jurnalisme dalam elemen jurnalisme ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001)—menghendaki jurnalis menyampaikan kebenaran. Dan, pada era media konvensional, pakem ini menjadi pegangan yang tak bisa dikompromi. Itu sebabnya, profesi jurnalis tak mudah dilakoni banyak orang.
Namun, ketika abad 21 menjadi era baru bagi dunia media, prinsip jurnalisme tersebut diterpa ancaman besar—diabaikan pengguna media sosial bahkan tak jarang juga para jurnalis. Apalagi, kreatifitas dan produktifitas media konvensional telah terkalahkan oleh intensitas konten media sosial yang berseliweran di jagat digital.
Mirisnya, terkadang media sosial menjadi sumber berita tunggal dalam media massa. Juga masalahnya, framing media massa kerap merugikan masyarakat. Apalagi pemberitaan itu lebih banyak opini, masyarakat tentu saja menjadi korban.
Belum lagi, independensi media massa telah diragukan publik. Terutama media –media besar, dikuasai korporasi dan politisi nasional, yang memiliki hubungan intim dengan pemerintah. Hasil penelitian Ross Tapsell dalam Kuasa Media di Indonesia (2018) menemukan, media-media milik Chairul Tanjung, Hary Tanoe, Erick Thohir, Surya Paloh, Aburizal Bakrie adalah bukti hubungan dekat media dengan kekuasaan.
Jika media dikuasai para orang dekat kekuasaan, kebenaran akan menjadi barang mahal yang dicapai masyarakat. Di sini, peran jurnalisme warga (citizen journalism) penting memiliki tempat untuk mengimbangi peran media massa. Warga tak perlu menjadi jurnalis yang terikat dengan media profesional, tetapi dapat bekerja menggunakan prinsip jurnalisme lalu menyampaikan informasi lewat media sosial maupun website. Terlebih, peran ini memungkinkan dilakoni aktivis organisasi mahasiswa maupun kepemudaan.
Karena dalam sejarah Indonesia, di massa konvensional, para aktivis memiliki jejak penting dalam menyelesaikan masalah. Gerakan itu mulai dari menulis di media cetak, membuat propaganda lewat selebaran, unjuk rasa hingga advokasi dan pendampingan masyarakat.
Gerakan-gerakan ini harus juga memiliki tempat di era digital. Sebab, sebagian besar masyarakat telah terhubung dengan internet, dan menghabiskan waktu banyak berinteraksi di media sosial ketimbang dunia nyata. Bahkan, saat lagi sambil duduk bersama, mereka tak jarang lebih menengok gadget dibandingkan berinteraksi dengan teman di sekitar.
Hanya saja, tak banyak aktivis yang memiliki kemampuan—sadar dan memiliki keterampilan memberdayakan media baru. Terutama mahasiswa yang kerap bernyanyi dengan identitas agen perubahan, kontrol sosial—hanya menjadi simbol yang mati—tak bergerak menemukan maknanya. Aktivis kini hilang daya pikirnya, yang selama ini menjadi identitasnya.
Aktivis sebagaimana manusia pada umumnya di era digital ini, mulai mengalami pergeseran daya pikir. Meminjam diktum Rene Descartes: Cogito ergo sum—aku berpikir maka aku ada, tak lagi menjadi syarat eksistensi manusia. Eksistensi itu bagi Budi Hardiman dalam Aku Klik maka Aku Ada (2021), telah berwujud pada citra yang nampak di media sosial dalam bentuk klik.
Foto, teks, video yang bertengger di media sosial adalah bukti keberadaan manusia. Bahkan sekadar klik apa saja agar tetap update; berpikir tidak lagi penting. Berbeda dengan apa yang ditemukan Descartes di awal modernitas—manusia di zaman sekarang tidak menyangsikan eksistensi digitalnya.
Padahal, masih dapat disangsikan apakah citra-citra dalam dunia digital dan isi komunikasi di dalam media-media sosial itu. Eksistensi manusia tidak ditentukan oleh kesangsiannya, tapi oleh kepastiannya, bahwa dia telah mem-post, membalas chat, mendapat like, atau merekrut sejumlah besar followers.
Bahkan, era digital yang diperankan oleh gawai ini, membikin kebenaran mulai tergerus, dikendalikan oleh media—bukan pihak penyampaian pesan. Menurut Budi Hardiman, kebenaran dalam beberapa pengertian klasik, seperti korespondensi, koherensi, dan konsensus, tertantang di era ini. Tersisah kebenaran performatif, dibuat oleh yang memiliki otoritas atau kompetensi dengan membuat pernyataan.
Kebenaran performatif itulah yang berlaku dalam komunikasi digital. Karena dalam komunikasi ini kebenaran bisa lebih diciptakan daripada ditemukan. Serial hoaks yang sebarkan terus-menerus secara masif akan berubah menjadi kebenaran.
Kebenaran berciri performatif dibikin lewat tindakan digital, seperti posting, chatting dan uploading. Termasuk kebenaran politik, yang telah menggunakan daya tarik emosional seperti isu ras, agama, etnisitas—untuk mengait dukungan.
Kebenaran yang nyaris terbunuh lewat konten sensasional kini mengorbankan masyarakat. Karena jurnalisme yang menjadi garda terdepan pembawa kebenaran informasi pun hampir kewalahan. Oleh karena itu, jurnalisme saatnya perlu dikendalikan warga, agar keberpihakan ke publik tak “disunat” korporat dan politikus. (*)