Oleh: Bito Temmar, Politisi Senior
TAMPAKNYA pemasangan spanduk dan baliho Pak Letjen (purn) Jeffry A. Rahawarin (JAR) cukup mengganggu juga. Setelah ada upaya menurunkan spanduk dan baliho tersebut, ada juga reaksi dari gubernur Maluku. Ada yang mengidentifikasi reaksi gubernur sebagai “sinisme”.
Tetapi saya melihat narasi gubernur sebagai reaksi seorang politisi. Jadi tampaknya MI sudah adaptif dengan kebiasan-kebiasan dalam permainan praktis politik.
Tentu saja ini berdasar selain karena jabatan kepala daerah adalah jabatan politik, tetapi juga karena sebagai Ketua DPD PDI-Perjuangan, tentu saja lebih mudah untuk menyerap kebiasaan-kebiasaan dalam permainan praktis politik.
Bagaimana respons pak JAR terhadap pernyataan politik pak MI, saya berharap responsnya benar-benar berkelas sehingga merangsang diskursus publik yang benar-benar mencerdaskan.
Saya tekankan aspek pencerdasan politik karena dua hal. Pertama, secara global rejim demokrasi sedang mengalami krisis yang cukup memprihatinkan. Moga-moga elit politik di negeri kita ini menyempatkan waktu membaca kumpulan tulisan ilmuwan sosial yang baru-baru ini diterbitkan dengan judul “Demokrasi Tanpa Demos”.
Kedua, memang kerja pencerdasan politik ini di Maluku mendesak dilakukan karena bagian ini yang ditelantarkan oleh partai-partai politik termasuk kaum cendekiawan publik di Maluku.
Jangan heran pemilu sudah berulang dilakukan, tetapi kalau diukur secara objektif, jumlah pemilih yang memilih secara rasional proporsinya sangat kecil.
Dampak dari perilaku memilih yang irasional tampak pada kualitas anggota lembaga perwakilan kita saat ini. Karena buruknya kualitas anggota perwakilan kita di daerah, kita menyaksikan relasi timpang DPRD-DPRD terhadap pemerintah daerah.
Dari sejumlah diskusi ringan ala warung kopi, hampir bisa dikatakan bahwa kepala daerah dan birokrasi baik provinsi maupun kabupaten/kota dengan mudah mendikte bahkan mengkooptasi DPRD-DPRD kita. Fungsi-fungsi klasik DPRD — legislasi, anggaran dan pengawasan — benar-benar mandul.
Keadaan ini berkaitan dengan perilaku memilih mayoritas warga kita yang cenderung irasional karena kemacetan pendidikan politik kewargaan. Maka dari itu, respons MI terhadap baliho/spanduk JAR kita harapkan akan merangsang rangkaian diskusi yang benar-benar mencerdaskan.
Akan sangat berkelas sekali kalau beberapa saat ke depan MI merangsang diskusi publik dengan menghadapkan kepada kita semua performa tahunan yang dicapai sekaligus rencana dan kebijakan sebagai gubernur. Dari sini kita harapkan kritik dan usulan rencana dan kebijakan alternatif dari JAR.
Rasanya dengan promosi performa dan gagasan dari kedua purnawirawan perwira tinggi ini, akan merasang diskursus publik sebagai strategi pencerdasan sekaligus pendidikan politik kepada rakyat Maluku yang gagal dilakukan oleh semua partai di negeri ini.
Siapa tahu dengan promosi performa dan gagasan baik MI mau pun JAR, membuat semua warga di Maluku bertekad kelak memilih baik caleg mau pun calkada secara rasional.
Kegagalan membangun diskursus publik yang mencerdaskan sudah pasti menjadikan pileg maupun pilkada yang akan datang seperti kerbau dalam lumpur kubangan. (*)