Oleh: Moksen Sirfefa, Peminat Sejarah dan Peradaban.
PERKATAAN Nanaku berasal dari bahasa Ternate, “nonako” yang artinya menandai sesuatu pada obyek tertentu. Dalam salah salah satu pepatah tradisional Ternate menyebutkan : “Tolefo dara mapila, sorogudu to nunako” (Aku menulis di sayap merpati, sejaumana ia terbang, tetap kukenali juga).
Jadi seberapa jauh si burung merpati terbang, tanda berupa tulisan di sayapnya tetap dikenali oleh yang menulisnya. Demikian pengandaian untuk kasus dua surat bupati Fakfak yang dinilai sangat bertentangan antar keduanya.
Surat pertama dengan nomor: 045.2/1231/BUP/2022 tertanggal 26 Agustus 2022 dalam bentuk surat pengantar bupati Fakfak yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri dalam hal ini Dirjen Otda terkait penolakan masyarakat Fakfak terhadap penggabungan Kabupaten Fakfak ke dalam wilayah Provinsi Papua Barat Daya yang pada tanggal 6 September 2022 akan ditetapkan DPR sebagai salah satu Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi di Provinsi Papua Barat. Surat kedua dengan nomor : 100/1255/BUP/2022 tertanggal 30 Agustus 2022 menyatakan MENDUKUNG (huruf kapital) dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Pemerintah Pusat memasukkan kabupaten Fakfak bergabung dengan DOB Provinsi Papua Barat Daya.
Bomberay Raya adalah sebutan untuk kawasan Jazirah Onin (dalam Kitab Negarakertagama disebut Wwanin) yang membentang dari teluk Berau ke kepulauan Rumberpon di Teluk Wondama hingga ke Mimika Barat di pantai selatan Papua.
Kawasan ini adalah wilayah pemerintahan tertua di Tanah Papua dan kini sedang digagas untuk menjadi DOB Provinsi Bomberay Raya yang sudah disepakati oleh empat bupati di kawasan ini, masing-masing bupati Fakfak, bupati Kaimana, bupati Teluk Bintuni dan bupati Teluk Wondama pada tanggal 14 Juni 2022 di Manokwari.
Pada awalnya semua sepakat untuk membawa aspirasi ini hingga ke tingkat pengambil keputusan di Jakarta. Namun di belakang hari, agenda pembentukan DOB Provinsi Bomberay Raya dimasuki agenda baru, yakni adanya gerakan penggiringan aspirasi rakyat agar Fakfak dan Kaimana bergabung dengan Provinsi Papua Barat Daya yang sebentar lagi RUU-nya akan ditetapkan oleh DPR. Dengan demikian, Teluk Bintuni dan Teluk Wondama merasa ditinggalkan dan aspirasi pembentukan provinsi Bomberay Raya secara tidak langsung dilemahkan. Masalah semakin runyam berawal dari dua surat yang dikeluarkan bupati Fakfak.
Surat pertama dan surat kedua hanya berselang empat hari, maka kedua surat Bupati Fakfak itu telah mendatangkan kegaduhan politik di tingkat lokal. Publik bertanya, hal apa yang menyebabkan bupati Fakfak menempuh langkah kontroversial ini? Bukankah dia bersama-sama rakyatnya berjuang membentuk provinsi Bomberay Raya tanpa agenda lain? Mengapa tiba-tiba dia mengabaikan surat penolakan rakyatnya bergabung dengan Papua Barat Daya yang dia sendiri menandatanganinya? Kembali lagi dengan pepatah Ternate dia atas, tanda tangan yang ia bubuhkan bersama rakyatnya adalah penanda (nanaku), dimana pun ia berada, ia akan dikenal oleh rakyatnya sebagai pemimpin yang tidak konsisten.
Inkonsistensi bupati Fakfak (semoga tidak terjadi dengan bupati Kaimana) kemungkinan disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ia tidak mampu membedakan dua hal yang berbeda, mana aspirasi rakyat Fakfak bersama rakyat Teluk Bintuni, rakyat Teluk Wondama dan rakyat Kaimana yang ingin membentuk provinsi sendiri (provinsi Bomberay Raya) dan mana agenda pengesahan RUU DOB Provinsi Papua Barat Daya oleh DPR. Kedua, kekurangpahaman terhadap sejarah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang wilayah cakupannya hanya meliputi wilayah “Sorong Raya” (kabupaten Raja Ampat, kota Sorong, kabupaten Sorong, kabupaten Sorong Selatan, kabupaten Maybrat dan kabupaten Tambrauw); Ketiga, ia ditekan oleh pihak tertentu untuk “mencuri” dan “memanipulasi” aspirasi rakyatnya seolah-olah rakyat Fakfak ingin bergabung dengan Provinsi Papua Barat Daya.
Secara politik, apa yang dilakukan oleh bupati Fakfak adalah wajar saja. Tidak ada yang salah dengan sikap politik yang berubah-ubah. Misalnya sewaktu Pilkada berbeda pilihan politik, setelah Pilkada duduk bareng. Itu hal yang biasa di dalam politik, karena di dalam politik perkawanan tidak abadi sedangkan kepentgingan yang abadi. Karena itu, kebijakan yang ditempuh bupati Fakfak merupakan bagian dari proses politik yang mencerminkan beragamnya aspirasi yang muncul yang merupakan konsekuensi dari beragamnya kepentingan di dalam masyarakat. Bupati Fakfak berada di dalam “tahanan” dua kutub kepentingan yang berbeda.
Di dalam politik tidak semua aspirasi yang muncul dapat disalurkan melalui kekuatan-kekuatan politik formal seperti partai politik yang memiliki fungsi resmi sebagai penyalur aspirasi, tetapi juga kekuatan lain yakni kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok ini oleh Theodore M. Benditt (1975) didefinisikan sebagai a group of persons who share a common cause, which puts them into political competition with other groups of interests. Jelas definisi Benditt ini dengan kenyataan politik lokal di Fakfak dan Kaimana bahwa ada kelompok kepentingan di satu sisi dan kelompok masyarakat di sisi lainnya.
Kemampuan kelompok kepentingan dari sisi finansial dan berjejaring dengan pengambil keputusan paling tinggi dapat saja mengarahkan aspirasi rakyat untuk mendukung kepentingannya.
Pada titik ini nanaku atau bakutau menjadi modal sosial penting untuk membangun soliditas dan solidaritas di dalam masyarakat. Tetapi ia bisa mencelakakan ketika terjadi pengkhianatan, baik pengkhianatan pemimpin pada rakyatnya atau pengkhianatan di antara sesama anggota masyarakat. Sejarah mencatat sejumlah pengkhianatan, baik pengkhianatan moral maupun pengkhianatan politik. Pengkhianatan moral terjadi di masa Yesus, dimana di antara keduabelas muridnya terdapat Simon Petrus dan Yudas Iskariot.
Simon Petrus kembali bertobat dan beriman kepada Yesus sedangkan Yudas tidak, bahkan ia mati bunuh diri. Sedangkan pengkhianatan politik terjadi di zaman Romawi Kuno, Marcus Junius Brutus Caepio alias Brutus, seorang senator kota Roma, mengkhianati dan membunuh temannya sendiri Julius Caesar pada 15 Maret 44 SM.
Jika dikatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan orang Bomberay Raya adalah bagian dari demokrasi. Mari kita pahami bersama bahwa perbedaan pendapat itu berbeda dengan ketidakkonsistenan. Uang, pangkat dan jabatan, bisa merubah segala sesuatunya dalam waktu singkat yang disebabkan bukan karena perbedaan pendapat tapi karena ketidakkonsistenan. Demikian ciri kehidupan politik di era masyarakat kapitalis. Oleh sebab itu, Robert Kuttner (2019) mencatat bahwa demokrasi akan sulit bertahan dalam dinamika masyarakat global-kapitalis dan secara dialektis Patrick Diamond (2019) menambahkan bahwa justru keterpurukan demokrasi menjadi bagian tak terpisahkan dari krisis global.
Apa yang terjadi di Fakfak adalah pengabaian (ignorance) jika tidak dikatakan pengkhianatan (betrayal) terhadap aspirasi rakyat Fakfak. Bupati menuruti kelompok oligarki ekonomi dan politik dibanding mengikuti apa yang diinginkan masyarakatnya. Kita tahu bahwa salah satu bencana keterpurukan ekonomi di Indonesia akibat sumber-sumber kekayaan alam hanya dimiliki oleh kelompok ini.
Oligarkisme menjadi monster yang menyatroni sumberdaya alam dan sumberdaya politik rakyat untuk kepentingan kelompoknya saja. Demokrasi hanya bisa dibeli dengan menggelontorkan sejumlah uang, demikian Aspinall dan Barenschot (2019) ketika melihat praktek demokrasi di Indonesia. Masalah partisipasi politik tidak begitu penting. Yang terpenting adalah kalkulasi donasi. Mereka memobilisasi aspirasi klien untuk melayani kepentingan figur tertentu di atasnya. Daerah-daerah menjadi bagian korporatisme negara yang mengandalkan patron-klien. Dalam konteks politik lokal di Bomberay Raya, klientelisme, meminjam Fukuyama (2019) berupa hubungan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha dan lain-lain jelas mempertaruhkan segala sesuatunya untuk kepentingan bos. Dalam konteks lokal, masa depan politik para begundal makin berat di masa depan karena rakyat su nanaku!
Jakarta, 5 September 2022.
Sumber Bacaan :
Aspinall, Edward and Ward Berenschot, Democracy for Sale (Elections, Clientelism, and the State in Indonesia, Ithaca and London : Cornell University Press, 2019.
Benditt, Theodire M, “The Concept of Interest in Political Theory”, Political Theory, No. 3, August, 1973.
Diamond, Patrick, The Crisis Of Globalization (Democracy, Capitalism and Inequality in the Twenty-First Century), London-New York : IB Taurus
Fukuyama, Francis, Political Order and Political Decay (From The Industrial Revolution to the Globalization of Democracy), New York : Farrar, Strauss & Girroux, 2019.
Kuttner, Robert, Can Democracy Survive Global Capitalism?, New York : WW. Norton & Company,2019.
Simak berita porostimur.com lainnya di Google News