Oleh: Guntur Alting, The MAHARANI Institute Jakarta
“Seorang manusia politik harus memiliki alasan, untuk segala yang dilakukan ? Bahkan, saat dia memutuskan untuk ‘bunuh diri sekali-pun’.Jika tidak dia lakukan, bagaimana dia menjelaskan pada masyarakatnya”.(Caro, Negarawan Romawi)
Dalam artefak volklore Tidore, kita mengenal konsep figurasi kosmologi leluhur (papa se tete), tentang kepemimpinan yang terkonsepsi pada sifat calon pemimpin yang memenuhi syarat ‘Ngofalaha-laha se ngofa manyinga simo’ yang tersarikan dalam istilah NGOFA MAGURACI.
Lalu siapa itu ngofa maguraci? Dalam literatur papa se tete, saya pinjam dari konsep Joelhaq, seorang penulis muda produktif kelahiran Rum Tidore (Komunitas Babari,2020). Menyebutkan, Ngofa maguraci adalah formula personality yang menunjukan pengakuan sosial terhadap seseorang sebagai “ngofa laha-laha dan ngofa manyinga simo (anak baik dan hati tua).
Dan standarisasi mencapai pengakuan itu adalah putra terbaik tidore yang mewarisi jiwa “saha se suba” sebagai bentuk kesalehan sosial, “pita se peta” berjiwa kesatria dan “loa se banari” berbudi luhur.
Esai ini, ingin menarasikan konsep ngofa maguraci dengan menggunakan 3 kriteria yang dipopulerkan oleh ‘Komunitas Babari’, kemudian mengkontekskan dengan kiprah seorang anak muda ‘energik’ yang bernama Basri Salama, serta kemungkinan penerapannya dalam lingkup Maluku Utara.