Porostimur.com, Weda – Di pagi yang seharusnya tenang di Pulau Gebe, Maluku Utara, suara mesin alat berat memecah sunyi. Asap debu beterbangan dari hutan yang dulunya penuh dengan pohon pala milik warga. Di sana, perusahaan tambang nikel memulai aktivitasnya. Tapi cerita sesungguhnya dimulai dari nama besar yang berada di balik izin usaha tambang ini: Sherly Tjoanda—Gubernur Maluku Utara.
Jejak Tambang dan Jejak Kekuasaan
PT Wijaya Karya—bukan BUMN, tapi perusahaan swasta lokal—mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Gebe sejak Januari 2025. Perusahaan ini, menurut data yang beredar dan diperkuat investigasi warga sipil, dimiliki 30 persen oleh Gubernur Sherly Tjoanda. Sisanya, 65 persen dikuasai oleh mendiang suaminya, Benny Laos, yang juga mantan Bupati Pulau Morotai.
“Ini bukan sekadar bisnis keluarga. Ini bisnis kekuasaan,” ujar Rasyid M. Lating, pengamat politik dan sumber lokal dari Ternate.
Keberadaan IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM tak lama setelah Sherly dilantik sebagai gubernur, menimbulkan kecurigaan publik tentang konflik kepentingan yang mengakar.
Pala yang Ditebang, Marah yang Ditanam
Untuk masyarakat Pulau Gebe, pala bukan sekadar komoditas ekspor. Ia adalah warisan. Sumber hidup. Sebagian warga menyebutnya “emas cokelat.”
Namun, dalam beberapa pekan terakhir, ribuan pohon pala ditebang oleh perusahaan tambang demi perluasan area eksplorasi. Tanpa ganti rugi memadai. Total kompensasi yang ditawarkan? Rp100 juta untuk 56 petani. Itu artinya, tidak sampai Rp2 juta per orang untuk tanaman yang mereka rawat bertahun-tahun.