Ketika padi sedang menguning, di atas bukit, di rumah kebun ibu yang atapnya dari katu dan daun woka, aku duduk memandang laut sambil berpantun, gohoru imastepa-tepa, yang bahoru juga adalah beta.
Angin dari laut yang bertiup sambil membasuh keringatku, melemparkan nyanyianku sebagai tigalu kemudian menghempaskannya ke mana-mana: ke Tala, ke Soro, ke Godhoa, ke Ponga, ke Bobanou.
Dari lereng dan bukit-bukit, balu demi balu berdatangan, bersamaan dengan suara kakatua dan perkici yang berteriak dari pohon-pohon yang hanya bisa kusentuh dengan mata. Aku mendengarnya seperti mendengar suaraku sendiri. Suara yang murni. Suara yang asin dan basah. Suara yang ketika aku jauh dan lupa, ia menjadi pengingat.
2023.
———–
tigalu: panggilan/seruan di hutan
tala, soro, godhoa, ponga, bobanou: nama-nama kebun di Supu, Loloda.
balu: balasan panggilan/seruan