Oleh: Muhammmad Diadi, Penulis, Pelaku Budaya Galela
Konsep bobato hanya dipakai dalam masyarakat yang sebagian atau seluruhnya beragama islam. Penggunaan bobato terkait dengan syiar Islam oleh kesultanan Ternate. Golongan bobato dan keluarganya beragama islam. Ada dua kategori bobato yang dikenal yaitu bobato akhirat dan bobato dunia. Bobato pertama juga disebut pemimpin agama.
Sedangkan yang terakhir merupakan pejabat yang mengurus masalah-masalah politik dan pemerintahan, atau segala sesuatu yang bersifat duniawi. Konsep bobato akhirat tidak banyak dijumpai di masyarakat Halmahera Utara, kecuali bobato dunia.
Penanda bobato dunia adalah gelar yang digunakannya, yakni sangaji dan kimelaha atau ngofamanyira. Kedua pejabat bobato tersebut diangkat dan bekerja untuk sultan. Selain gelar, bobato dunia mempunyai tanda pengenal status yang khas, yakni pakian kebesaran berupa sebuah jubah panjang dan sorban berwarna hitam.
Fungsi pertama bobato adalah sebagai penguasa yang disahkan oleh sultan, mereka berkewajiban mengawasi kepentingan-kepentingan kesultanan di wilayahnya. Kewajiban itu dapat berupa upeti dan pengerahan tenaga untuk armada kerajaan atau hongi dan kepetingan rumah tangga kadaton. Fungsi keduanya adalah pemimpin masyarakat di negerinya masing-masing (Leirissa 1996:93-94,99).
Pada masa VOC, masyarakat Halmahera terbagi atas dua, yakni masyarakat pesisir yang memeluk islam dan masyarakat pedalaman (halefuru) yang menganut kepercayaan lokal. Dalam abad ke-18, jumlah penganut Islam lebih kecil dibandingkan dengan halefuru.
Namun pengaruh politik dari negeri-negeri yang berpenduduk islam jauh lebih besar, kerena memiliki hubungan dengan Ternate. Masyarakat halefuru lebih terintegrasi dalam sistem politik lokal, terutama dalam kegiatan hongi (armada kerajaan). Dalam hal ini, mereka menyumbankan tenaganya untuk kepentingan kedaton bersama masyarakat pesisir (Leirissa 1996:87-88).
Menurut Van Vrassen, masyarakat Galela dan Tobelo mulai mengalami proses integrasi dalam sistem politik kesultanan Ternate dalam abad ke-17 dan paruh kedua abad ke-18.
Salah satu anggota keluarga dari suku-suku yang terpenting dalam masyarakat itu telah memeluk islam diangkat sebagai sangaji yang berkuasa atas suku-suku lainnya, mendapat gelar kimelaha. Namun, hak itu tidak berlaku untuk semua daerah di Halmahera Utara.
Kerajaan Loloda misalnya, meskipun termasuk bagian dari wilayah kesultanan Ternate, namun penguasanya tidak pernah menggunakan gelar sangaji, melainkan kolano (Leirissa 1996:95).
Salah satu kewajiban bobato dunia adalah mengerahkan tenaga untuk hongi. Istilah hongi sesunguhnya menunjuk pada armada tradisional yang terdiri dari sejumlah perahu perang (kora-kora) yang dilengkapi dengan awak dan dipersenjatai.
Hongi merupakan suatu institusi yang sudah ada sejak abad ke-17. Para penguasa Halmahera Utara bertanggunjawab agar distriknya senantiasa menyediakan kora-kora yang sewaktu-waktu harus dikerahkan untuk kepentingan sultan.
Hongi dari Halmahera diatur sesuai organisasi sosial wilayahnya. Pimpinan unit armada (kumpulan perahu) adalah pemimpin distrik yang bersangkutan (sangaji), dengan kapitan laut distrik sebagai pelaksananya. Setiap perahu dipimpin oleh kepala kampung (kimelaha), serta seorang kapitan sebagai pemimpin perangnya.
Kontingen-kontingen armada tersebut dikumpul di kadaton dan pimimpinnya diserahkan kepada kapitan laut. Namun, tidak semua ekspedisi maritim selalu dipimpin oleh kapitan laut. Sering juga tugas itu dilaksanakan oleh seorang perwira kerajaan yang menyandang gelar Mayor ngofa atau Kapitan Ngofa (Leirissa 1996:105).
Pengerahan tenaga untuk Hongi dilakukan secara bergiliran oleh para pria dari suatu negeri atau kampung. Setiap distrik harus menyediakan perahu perangnya sendiri.
Kewajiban para sangaji adalah memastikan perahu-perahu perang yang sudah dijatahkan bagi distriknya, selalu siap pakai, sehingga bila sultan mengirim utusan dengan perintah untuk berkumpul, maka perintah itu dengan segera dapat dilaksanakan. Karena itu, perahu-perahu perang yang dibuat oleh penduduk harus tidak mudah rusak dan bisa bertahan beberapa tahun.
Umumnya perahu-perahu itu dibuat dari kayu Gosafabatu yang banyak tumbuh di Halmahera, dengan tiang-tiang yang terbuat dari pohon Bintangor yang lurus dan panjang. Pengerahan masyarakat Halmahera Utara untuk hongi oleh sultan Ternate terutama untuk melakukan pengawasan di perairan Sulawesi Utara (Leirissa 1996:106 | Abd Rahman 2013:205-207).